Reproduksi Budaya Berkarakter di Sekolah

Diterbitkan oleh Admin pada Jumat, 10 Januari 2020 09:23 WIB dengan kategori Headline Opini dan sudah 1.673 kali ditampilkan

Dimasyarakat modern hari ini lembaga pendidikan menjadi penentu utama dalam keberhasilan seseorang olehnya itu penting untuk memahami sekolah sebagai transmisi lingkungan sosial budaya. Karena pendidikan disekolah harus melahirkan generasi baru yang jauh dari budaya kekerasan.

Sekolah juga harus merupakan reproduksi budaya yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, empati dan tidak individualisme.

Sekolah harus menjadikan lingkungan sekolah tempat melahirkan orang orang cerdas yang mempunyak ahlak dan moral. Bukan sebaliknya melahirkan budaya kekerasan didalam sekolah, akibatnya memiskinkan siswa yang berkarakter.

Sekolah menjadi symbol sosial yang merepresentasasikan identitas seseorang, karena itu sekolah harus menjadi sarana reproduksi budaya dan nilai-nilai sosial yang diagungkan oleh masyarakat.

Pendidikan saat ini sudah mengalami pergeseran menjadi kapitalisme dalam dunia pendidikan. Ini bisa kita dari lihat semakin menjamurnya lembaga - lembaga pendidikan di dalam masyarakat. promosi-promosi yang dilakukan lembaga pendidikan tersebut membuat masyarakat semakin berlomba - lomba mengejar pendidikan yang mahal dan berkualitas tetapi miskin moral dan ahlak.

Tetapi sangat wajar hari ini seperti itu kondisinya, pemerintah sebagai penguasa yang abash belum bisa memberikan jaminan pendidikan yang berkualitas dan bermutu. Akibatnya digantikan oleh lembaga pendidikan swasta yang menjadikannya sebagai lahan bisnis yang menguntungkan.

Kenapa lahan bisnis.?
Dunia pendidikan merupakan sesuatu yang diburu oleh masyarakat untuk mempersiapkan buah hatinya mendapatkan pendidikan yang bermutu dan berkualitas.

Sekolah mahal sekalipun tidak bermasalah, asalkan bisa menjadikan anaknya sekolah. Tetapi yang terlihat sudah menjadikan pendidikan sebagai lahan industry, bukan memproduksi budaya kemanusiaan, empati terhadap lingkungan, mengembangkan kepintaran emosional tetapi mengekploitasi kepintaran intelektual.

Kemudian juga dalam realitas sosial masyarakat, perubahan sosial di lembaga pendidikan telah terjadi pergeseran nilai dan bentuk interaksi sosial dan hubungan sosial. Ini disebabkan oleh semakin merasuknya  teknologi yang mendorong masyarakat semakin berpikir instan dan pragmatisme.

Masuknya dunia teknologi memberikan jurang sosial antara siswa dengan siswa lainnya, bahkan dengan perkembangan teknologi komunikasi menjadikan siswa semakin individualistis. Cukup dengan android saja, siswa mampu berjam-jam duduk sendirian bermain game tanpa menghiraukan lingkungan sekitarnya.

Ini perlu perhatian serius dari para pendidik. Karena tidak jarang kita lihat game-game yang dimainkan ternyata ada kekerasan didalamnya, oleh karena itu perlu control atau pengawasan guru disekolah. 

Sekolah jangan sampai abai dan tidak peduli dengan kondisi siswa seperti ini. peran guru harus mampu membendung semakin masifnya teknologi secara negative mempengaruhi pemikiran dan kebiasaan peserta didik.

Guru merupakan orang terdekat para peserta didik harus menjadi panutan dalam hal apapun. Jangan sampai budaya kekerasan yang dilakukan para guru memberikan inspirasi bagi anak untuk meniru dalam proses identifikasi dan meniru. 

Sering terlihat dalam interaksi antara siswa dan guru adalah dalam reproduksi bahasa oleh para pendidik. Akibat tidak mengerjakan pekerjaan rumah (PR) yang dibebankan kepada siswa sering kali para guru melampiaskan kemarahannya pada anak dengan kasar dan acap kali juga sering memaki siswa, ini harus dihindarkan dalam dunia pendidikan. Karena sekolah tempat mereproduksi nilai-nilai kebaikan dan moralitas, bukan membangun budaya kekerasan.

Sekolah harus menciptakan system yang tidak memberikan peluang terjadinya budaya kekerasan itu terjadi, sehingga perlu adanya pengawasan yang melekat dari para pengawas sekolah untuk meminimalisir terjadinya tindak kekerasan oleh guru terhadap siswa, dan juga antara siswa dengan siswa. 

Kalau ada juga terjadinya tindak kekerasan harus diselesaikan dengan cepat dan tidak abai, karena secara fakta sosial nantinya akan berkembang perilaku kekerasan dengan modus lainnya.

Perlu perhatian serius dari para penguasa disekolah membendung dan menghindari tejadinya konflik sosial disekolah. Pendidikan karakter harus diajarkan sebagai bentuk dari variable penghambat semakin masifnya budaya kekerasan di lembaga pendidikan seperti sekolah ini. budaya kekerasan disekolah jangan sampai menjadi realitas sosial objektif yang mentradisi di sekolah.

Budaya berkarakter dalam diri individu siswa atau peserta didik juga bisa dibentuk dari bagaimana lingkungan disekolah itu memproduksinya.

Kemudian budaya kekerasan juga terjadi dari keluarga anak tersebut. Akibat dari semakin tingginya budaya modern, menuntut orang tua bekerja dengan tanpa memperhatikan bagaimana tumbuh kembang anak. Sehingga anak semakin liar dan rendah ahlaknya akibat salah bergaul dengan lingkungannya. sekolah juga sering kita lihat hanya memproduksi nilai-nilai secara intelektual saja atau kognitif. Tetapi tidak mengembangkan kepintaran emosional dan spiritual. Sehingga tidak memiliki kepekaan terhadap lingkungan dimana ia berada dan sangat cenderung individualistis. 

Perlu penanganan serius dari pihak sekolah melakukan komunikasi sosial dengan orang tua untuk memberikan informasi secara terus-menerus terhadap perilaku anak disekolah. Sehingga peran sekolah tidak dipersalahkan oleh para orang tua, komite sekolah juga tempat bagaimana komunikasi sosial antara pihak sekolah dengan para orang tua siswa dikembangkan.

Sudah seharusnya sekolah berfungsi sebagai reproduksi budaya harus menempatkan sekolah sebagai penghasil nilai-nilai budaya baru yang berfungsi sebagai difusi budaya. Jangan sampai kurikulum disekolah mereproduksi kekerasan secara psikologis, akibat semakin berat beban yang ditanggung para siswa untuk memenuhi tuntutan kurikulum tersebut.

Oleh karena itu penting untuk menghadirkan pendidikan yang tidak hanya berorientasi nilai intelektual saja, tetapi cerdas secara emosional dan spiritual. Agar mampu menjawab tantangan seperti sekarang ini yang rentan dengan budaya kekerasan dilingkungan masyarakat. (*)


Oleh : Suyito

Wasekum KAHMI Provinsi Kepulauan Riau dan Kandidat Doktoral Malaysia