Alasan Karantina Covid 19, Pemerintah Korsel dan PBB Diminta Selesaikan Konflik Penindasan Agama

Diterbitkan oleh Admin pada Selasa, 25 Agustus 2020 19:54 WIB dengan kategori Headline Internasional dan sudah 1.131 kali ditampilkan

Korsel, -- Para pemimpin global mendesak pemerintah korea selatan dan PBB untuk menyelesaikan penindasan agama dan mengatasnamakan karantina Covid-19. Seiring penyebaran virus corona yang terus meningkat di seluruh dunia.

Suara komunitas internasional untuk penghentian penindasan agama yang terjadi di Korea Selatan juga meningkat, dan dikenal juga sebagai contoh kasus karantina Covid-19.

Pada 17 Agustus, Coalition of Caribbean Leaders for Peace (CCLP) yang terdiri dari mantan pemimpin dan pemimpin di Karibia termasuk mantan presiden United Nations Human Rights Council (UNHRC), mengirim surat bersama kepada Menteri Luar Negeri Korea Selatan, Kang Kyung- Wha dan Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia, Michelle Bachelet.

Dalam surat tersebut, mereka mengatakan bahwa pemerintah, walau dalam situasi urgensi menanggapi pandemi, harus bertanggung jawab atas perlindungan hak asasi manusia terlepas dari agama, ras, etnis, atau status sosial ekonomi dan turut prihatin tentang penindasan yang sedang berlangsung terhadap Gereja Shincheonji, sebuah Denominasi Kristen yang berbasis di Korea Selatan, yang menderita infeksi massal tak terduga pada awal tahun ini.

Sebelum dilakukannya pembuatan surat bersama ini, 11 LSM termasuk European Coordination of Associations and Individuals for Freedom of Conscience (CAP-LC) menyerahkan laporan tahunan untuk Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia mengenai diskriminasi yang ditujukan secara tidak pantas terhadap Gereja Shincheonji kepada Sekjen PBB.

Adapun laporan tahunan tersebut diketahui Selasa (24/8/2020) terkininews.com dari kelompok HWPL dengan tema "Mengambinghitamkan Anggota Shincheonji untuk COVID-19 di Republik Korea" dimana Surat tersebut secara singkat menunjukkan fakta seputar Shincheonji dan Covid-19 sebagai berikut;
Covid-19 disebarkan ke Korea Selatan dari Cina.

Menurut Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Korea, virus itu sudah ada di kota Daegu sebelum terkonfimasi pasien ke 31 (Shincheonji) (di Daegu). Penolakan pemerintah untuk menutup perbatasan ke China berkontribusi besar terhadap wabah tersebut.

Menghadapi ketidakpuasan publik yang semakin meningkat karena pemerintah tidak memberlakukan pembatasan perjalanan kepada Warga Cina di Korea, Menteri Kehakiman Choo Mi-ae memerintahkan jaksa penuntut untuk menyelidiki Shincheonji.

Wakil Menteri Kesehatan membenarkan bahwa daftar informasi identitas pribadi yang dikumpulkan tidak jauh berbeda dengan yang dikumpulkan dan diperiksa oleh pemerintah bakan Jaksa telah menangkap pejabat Shincheonji dengan alasan daftar anggota jemaat yang diajukan oleh Shincheonji tidak lengkap.

Dengan mengacu pada laporan “Lembaran fakta untuk respon global pada Corona Virus (COVID-19) dan dampaknya pada praktik beragama dan kebebasan beragama” oleh United States Commission on International Religious Freedom (USCIRF), surat bersama tersebut menegaskan kembali bahwa Korea Selatan menjadi contoh nyata tentang bagaimana keadaan darurat kesehatan masyarakat dapat meningkatkan risiko untuk memojokkan kelompok keagamaan.

Mereka menunjukkan bahwa sikap diam pemerintah Korea Selatan tentang situasi saat ini akan menjadi contoh global yang berbahaya untuk kemungkinan terjadinya penganiayaan, kekerasan, dan pelecehan serupa terhadap keagamaan minoritas lainnya, dan sangat mendesak Pemerintah Korea untuk "mengambil langkah selanjutnya demi mengakhiri diskriminasi ini".(*/)