Politik Uang, Oligarki, Dan Dinasti Halmahera Selatan
Penulis: Sudharmyn Mas'ud Sangaji
Labuha adalah salah satu Kabupaten yang selalu Berproses, diuji berbagai rintangan sebagai syarat untuk menjadi sebuah kabupaten yang maju dan sejahtera. Karena sesuatu yang besar diuji juga oleh hal-hal yang besar pula.
Wabah Pandemi Covid-19 yang merenggangkan relasi fisik sosial, ekonomi dan ekologi serta pemilihan kepala daerah pada Desember 2020 lalu
Dua hal ini memakan energi. Menguras fokus. Menyedot suplemen konsentrasi sebagai bangsa. Dibalik hal ini, ada tiga soal yang hendak dikerjakan m untuk diselesaikan. Soal politik uang, oligarki dan dinasti. hal ini tengah menjadi batu loncatan untk mutu demokrasi.
Burhanuddin Muhtadi pada Juni 2020 merilis disertasi yang diterbitkan dalam buku berjudul Kuasa Uang: Politik Uang dalam Pemilu Pasca Orde Baru (KPG,2020). Apa yang menarik dari buku ini?.
Politik uang terpapar pada pemilih yang merasa dekat dengan partai (party ID) daripada yang tidak dekat dengan partai.
Ini menjadi misteri. Sebab umumnya, pemilih yang merasa dekat partai tentu tidak perlu dibujuk dengan uang. Ia loyal memilih partai. begitupun sebaliknya
Meski ini anomali berikutnya, total pemilih yang merasa dekat dengan partai, dari riset Muhtadi, hanya mencapai 15 persen dari total responden survei nasional.
Pasti politik uang mengotori demokrasi. Suara aspiratif terpasung. Rakyat yang bersedia menerima uang dan material lainnya akan tergadai selama lima tahun. Demokrasi disandera.
Politik uang memicu pula penyakit lainnya. Korupsi dan jual beli jabatan marak. Sebab, logika balik modal, bekerja di antara mesin politik uang.
Apakah secara hukum tidak ada larangan? Pasti ada. Dalam koridor politik oligarki, maka urusan negara dan Daerah,seperti urusan segelintir orang-orang itu saja yang mewarnai media dan kekuasaan. dipastikan menggerogoti kapasitas demokrasi.
Sebab, demokrasi memuja kompetisi.Fairnes. Nilai-nilai keadaban publik. Hal seperti ini, lenyap, dalam politik oligarki.
Ujung politik uang dan politik oligarki, tidak sedikit, yang melembagakan pranata politik dinasti atau politik kekeluargaan.
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 33/PUU-XIII/2015 tentang Pengujian Pasal 7 huruf r UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah membatalkan ketentuan yang melarang calon kepala daerah memiliki konflik kepentingan dengan kepala daerah inkumben.
Alasannya, pasal seperti ini melanggar hak asasi manusia dan bersifat diskriminatif. Tentu saja, Putusan MK di atas dianggap angin segar bagi pelembagaan politik dinasti.
Dengan begitu, siapapun sanak Kekuarga yang masih ada hubungan dengan kepala daerah inkumben, boleh saja menjadi kepala daerah sepanjang dipilih oleh publik.
Tentu politik dinasti menimbulkan pro kontra. Bagi yang pro, politik dinasti sah saja. Karena merujuk ke pengalaman di Provinsi Maluku Utara Dan Kabupaten Halmahera Selatan. misalnya, dinasti politik terus muncul hingga Mencedrai nilai Demokrasi
Namun bagi yang kontra, seperti diulas Ni’matul Huda, (Perkembangan Hukum Tata Negara:2014, 421). Praktik politik dinasti merupakan praktik yang menyebabkan maraknya gejala personalisasi politik dan lemahnya kapasitas negara dan institusi politik.
Proses pengambilan keputusan tidak lagi didasarkan pada proses rasionalitas instrumental, melainkan didasarkan keputusan individual dari aktor-aktor dinasti yang berkuasa.
Pelembagaan partai politik juga tersumbat karena asas meritokrasi ditundukan hubungan darah dan hubungan keluarga. Yang pasti, tidak sedikit kasus-kasus politik dinasti menyebabkan korupsi. Banyak kasus korupsi yang terbukti melibatkan kekeluargaan, seperti terjadi di Kabupaten Halmahera Selatan Provinsi Maluku Utara, Saat ini Mekanisme demokrasi berupa checks and balances menjadi lumpuh saat dihadapkan politik dinasti.
Tentu tidak semua daerah di Indonesia mengalami kasus sama, namun untuk Kabupaten Halmahera Selatan, pengalaman politik dinasti tidak sedikit yang mengancam pranata demokrasi yang berdarah-darah diperjuangkan untuk sebuah demokrasi yang Baik
Pada akhirnya, dibutuhkan pemikiran yang komperhensif dan regulasi yang kuat untuk setidaknya membatasi agar politik uang, oligarki dan dinasti tidak merajalela dan merusak tatanan demokrasi. Bahkan, tidak saja diperlukan regulasi, namun edukasi publik yang kuat untuk membangun budaya literasi politik yang kritis.
Hal ini tidak mudah ditengah pandemi Covid-19 yang mulai mempengaruhi pertumbuhan ekonomi secara signifikan.
Namun demikian, dalam perspektif saya ke depan, politik uang, oligarki dan dinasti harus diperjuangkan untuk dieliminasi agar sumber daya publik, akses ruang publik dan anggaran publik tidak disalahgunakan untuk kepentingan segelintir elite Politik atau kerabat.
Selain itu, memang dibutuhkan pula pembenahan sistem pemilu dan Partai agar berbiaya murah dan memastikan kader partai bermutu diprioritaskan mengisi jabatan publik. Bukan kelompok pragmatis berbekal uang sewa perahu menjadi penumpang gelap demokrasi.