3 Siswa SD Mojokerto Cabuli Anak TK, Ini Kata Pakar
PENDIDIKAN - Seorang anak perempuan yang duduk di bangku TK dicabuli tiga anak SD di wilayah Kecamatan Dlanggu, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, pada Sabtu (7/1/2023). Diberitakan Kompas.com, Jumat (20/1/2023), tiga anak SD berusia 8 tahun itu mencabuli anak TK berumur 6 tahun yang merupakan tetangga dan teman bermainnya. Akibat kejadian ini, korban mengalami trauma hingga enggan sekolah dan keluar rumah untuk bermain. Lalu, mengapa anak kecil bisa melakukan tindakan pencabulan? Apa upaya pencegahan yang bisa dilakukan orangtua untuk mendidik anak?
Perkembangan otak anak
Menurut ahli psikologi perkembangan UIN Bandung Rosleny Marliani, otak anak berkembang berkat pengaruh faktor genetik dan lingkungan, baik internal maupun eksternal. Faktor internal berasal dari dalam dirinya, sedangkan faktor eksternal bisa berupa kondisi saat ibu hamil, tempat tinggal, dan pola asuh. "Otak akan berkembang dengan baik jika mendapatkan stimulasi yang tepat dan sebaliknya otak tidak akan berkembang dengan baik jika stimulasi yang diperoleh tidak tepat," jelasnya saat dihubungi Kompas.com pada Sabtu (21/1/2023). Rosleny menyebutkan, otak anak tumbuh dan mampu menyerap informasi seiring bertambahnya usia. "Informasi yang diserap itu baik atau buruk tergantung stimulasi yang diperoleh," tambahnya.
Kemungkinan ada pengalaman buruk di masa lalu
Rosleny mengungkapkan, anak kecil yang menjadi pelaku pencabulan memiliki kemungkinan pernah mengalami kejadian buruk di masa lalu. "Anak mungkin memiliki pengalaman dilecehkan," ujarnya. Menurut dia, ini karena anak usia 8 tahun yang melakukan pencabulan seharusnya belum tahu hal tersebut (aktivitas seksual). "Anak usia itu seharusnya belum tahu, apalagi melakukan hal yang tidak pantas," katanya.
Ketua Prodi Psikologi UIN Bandung ini menyatakan, ada dua kemungkinan mengapa korban pencabulan atau pelecehan akhirnya bisa melakukan pelecehan seksual. "Untuk anak usia agak dewasa, dia punya pengalaman itu kemudian yang akan muncul dendam," katanya. Rosleny menambahkan, anak yang dendam akan melakukan tindakan serupa pada orang yang ia anggap lebih lemah, misal anak berusia lebih muda. Sementara itu, anak berusia sangat muda yang menjadi pelaku pencabulan akan menirukan perbuatan yang dilakukan orang dewasa padanya. Tindakan peniruan ini bisa dikenal sebagai fase imitasi pada anak. "Imitasi merupakan hasil proses pembelajaran yang dilakukan anak pada konteks internal, misal pada orangtua, dan eksternal, lingkungan di mana dia tinggal," jelas Rosleny.
Kurang kontrol dari orangtua
Rosleny juga mengungkapkan, penyebab paling berpengaruh hingga anak melakukan pencabulan adalah pola asuh dari orangtua yang salah. "Anak lepas dari pengawasan kontrol orangtua," tegasnya. Menurutnya, budaya Indonesia masih menganggap seks sebagai hal tabu untuk diomongkan, terlebih pada anak. Padahal saat ini, pandangan itu tidak relevan. "Jaman sekarang itu nggak bisa diterapkan lagi. Ada perkembangan teknologi. Orangtua juga harus melek teknologi," katanya. Ia mencontohkan, anak mudah membuka konten pornografi tanpa pengawasan orangtua. Sedangkan anak yang berada di usia ingin serba tahu, lalu jadi ingin coba-coba melakukannya. "Korban pada siapa? Ya orang yang posisinya lebih lemah," ungkapnya.
Rosleny mengatakan, anak kecil yang jadi korban pencabulan tidak tahu efek pelecehan itu. "Korban berada di posisi lemah, tidak bisa apa-apa," katanya. Ia menyebut, korban akan mengalami trauma, takut berumah tangga, serta mengalami gangguan psikologis, fisik, dan emosi.
Cegah dengan pendidikan seks sejak dini
Untuk mencegah anak kecil melakukan pencabulan, Rosleny sangat mendorong orangtua untuk memberikan pendidikan seks pada anak sejak dini. Pendidikan seks, menurutnya, harus diberikan mulai anak usia 3 tahun atau saat awal masa keemasannya. Di usia 3 tahun, anak akan mulai merekam informasi dari stimulus yang ada di sekitarnya. "Mulai kenalkan, saya ini siapa, perempuan laki-laki seperti apa, anggota-anggota tubuh," jelasnya. Dalam pendidikan seksual, orangtua juga mengajarkan anak konteks budaya dan agama. "Jadi, jangan khawatir kalau memberikan pendidikan seks sejak kecil membuat anak jadi pelaku (pencabulan)," tegas Rosleny. Isi pendidikan seks dari orangtua harus menyesuaikan usia anak. Di usia muda, anak seharusnya dibiasakan untuk tidak keluar kamar mandi telanjang dan hanya boleh disentuh ibu atau ayahnya. Saat remaja, barulah anak diajari soal kehamilan.