Mendukung Pengelolaan Tambang oleh Ormas: Antara Harapan dan Kritik Kebijakan Pemerintah
Opini : Fikri
Mahasiswa STEBI Batam
Baru-baru ini, Indonesia menjadi sorotan dengan keputusan kontroversial untuk memberikan izin usaha pertambangan (IUP) kepada organisasi kemasyarakatan (ormas) keagamaan. Kebijakan ini terjadi dalam konteks upaya untuk memberdayakan ormas keagamaan secara ekonomi, tetapi juga memunculkan berbagai polemik terkait dampak sosial, ekologis, dan moral yang dapat ditimbulkannya.
Pemerintah, melalui Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia, mempertegas bahwa memberikan konsesi pertambangan kepada ormas keagamaan merupakan langkah untuk mendukung kemandirian mereka. Dalam konteks ini, ormas diharapkan tidak hanya menjadi penerima manfaat ekonomi, tetapi juga sebagai pemangku kepentingan yang dapat menjaga stabilitas sosial di sekitar wilayah pertambangan. Idealnya, mereka diharapkan dapat mengelola sumber daya alam dengan prinsip keadilan sosial dan lingkungan yang lebih baik dibandingkan dengan praktik industri pertambangan konvensional.
Dalam teori, memberikan kesempatan kepada ormas keagamaan untuk mengelola tambang dapat mengurangi ketegangan sosial yang sering terjadi antara perusahaan pertambangan dan masyarakat lokal. Ormas memiliki potensi untuk menjadi perantara yang lebih baik antara kepentingan ekonomi dan kebutuhan sosial masyarakat sekitar. Ini sejalan dengan upaya pemerintah untuk memperbaiki citra industri pertambangan yang sering kali disorot karena dampak destruktifnya terhadap lingkungan dan ketidakadilan sosial.
Namun demikian, kebijakan ini tidak luput dari kritik yang pedas, baik dari kalangan ahli hukum lingkungan seperti Agung Wardana maupun dari aktivis lingkungan seperti Melky Nahar dari JATAM Nasional. Mereka menyoroti beberapa permasalahan mendasar.
Industri pertambangan dikenal memiliki dampak lingkungan yang serius, termasuk deforestasi, pencemaran air dan udara, serta kerusakan habitat. Ormas keagamaan, yang seharusnya menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan etika, mungkin tidak memiliki kapasitas atau pengetahuan yang cukup untuk mengelola tambang dengan memperhatikan keberlanjutan lingkungan.
Pengelolaan tambang dapat memicu konflik internal di dalam ormas keagamaan, terutama dalam hal pembagian keuntungan dan pengambilan keputusan strategis. Persaingan internal untuk mengontrol sumber daya yang berharga seperti pertambangan dapat mengancam stabilitas dan solidaritas internal ormas.
Terlibat dalam industri pertambangan yang sering kali dihubungkan dengan korupsi, ketidakadilan, dan kerusakan lingkungan dapat merusak kredibilitas moral ormas keagamaan di mata publik. Hal ini bertentangan dengan misi mereka untuk mempromosikan nilai-nilai keadilan dan kebaikan sosial.
Sebagai alternatif, pemerintah dapat mempertimbangkan beberapa langkah strategis. Memastikan bahwa ormas keagamaan yang mendapatkan izin pertambangan harus tunduk pada regulasi ketat yang mengatur praktik pertambangan yang bertanggung jawab secara lingkungan dan sosial. Memberikan pendidikan dan pelatihan yang memadai kepada ormas keagamaan dalam manajemen lingkungan dan prinsip-prinsip pertambangan yang bertanggung jawab. Mendorong transparansi dalam pengelolaan keuangan hasil tambang dan memastikan bahwa keuntungan yang diperoleh digunakan untuk kesejahteraan masyarakat lokal dan pelestarian lingkungan. Mengembangkan sektor ekonomi alternatif yang berkelanjutan untuk masyarakat sekitar tambang, sehingga mereka tidak sepenuhnya bergantung pada industri pertambangan.
Pengelolaan tambang oleh ormas keagamaan, meskipun memberikan potensi untuk memperbaiki citra industri pertambangan, tidak dapat dilepaskan dari berbagai risiko dan tantangan. Pemerintah perlu berhati-hati dalam menerapkan kebijakan ini, dengan mempertimbangkan secara seksama dampak sosial, lingkungan, dan moralnya. Menghadirkan pendekatan yang berimbang antara dukungan terhadap ormas keagamaan dan perlindungan terhadap kepentingan sosial dan lingkungan adalah kunci untuk mencapai keseimbangan yang berkelanjutan dalam pengelolaan sumber daya alam di Indonesia.