Dampak Pelemahan Rupiah terhadap Ekonomi Mikro dan Rumah Tangga

Diterbitkan oleh Redaksi pada Senin, 17 Juni 2024 21:02 WIB dengan kategori Opini Suara Mahasiswa dan sudah 233 kali ditampilkan

Siti Rohmihatun

Mahasiswa Akuntansi Syariah STEBI Batam

 

Pelepasan kurs Rupiah terhadap Dolar AS yang masih mengalami pelemahan, dengan mencapai level Rp16.000-an, menjadi perhatian utama bagi banyak pihak, terutama dalam konteks ekonomi mikro dan dampaknya terhadap rumah tangga di Indonesia. Pelemahan nilai tukar ini tidak hanya mempengaruhi kondisi makroekonomi negara, tetapi juga langsung merasuki ke tingkat kehidupan sehari-hari masyarakat.

Di level ekonomi mikro, pelemahan Rupiah terhadap Dolar AS dapat memberikan dampak yang signifikan. Salah satunya adalah naiknya harga barang impor yang menggunakan Dolar AS sebagai mata uang transaksi. Banyak usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang bergantung pada impor barang mentah atau produk jadi dari luar negeri. Dengan Rupiah yang melemah, biaya impor barang-barang ini akan meningkat, yang pada akhirnya dapat mengakibatkan kenaikan harga jual di pasar domestik.

Contoh sederhana adalah pedagang kecil di pasar tradisional yang mengimpor bahan-bahan makanan atau barang dagangan dari luar negeri. Mereka harus membayar lebih mahal untuk mendapatkan barang tersebut, sehingga untuk tetap menghasilkan keuntungan yang sama, mereka akan menaikkan harga jualnya. Dampak ini akan berlanjut ke konsumen akhir, yang pada gilirannya dapat mengurangi daya beli masyarakat terhadap barang-barang tersebut.

Selain itu, UMKM yang memiliki utang dalam bentuk mata uang asing juga akan terbebani dengan biaya pembayaran utang yang lebih tinggi ketika Rupiah melemah. Hal ini dapat mempengaruhi likuiditas dan kestabilan finansial mereka secara keseluruhan.

Bagi rumah tangga, pelemahan Rupiah berarti daya beli terhadap barang-barang impor dan barang-barang yang memiliki keterkaitan dengan pasar global akan menurun. Bahan makanan, barang elektronik, dan barang konsumsi lainnya yang diimpor akan menjadi lebih mahal, menyebabkan penyesuaian dalam anggaran belanja rumah tangga.

Masyarakat dengan penghasilan tetap juga akan merasakan dampak ini, terutama dalam hal daya beli terhadap barang-barang mewah atau barang elektronik yang mayoritas diimpor. Penyesuaian harga ini sering kali tidak seimbang dengan kenaikan upah atau pendapatan, sehingga dapat mengurangi kemampuan masyarakat untuk meningkatkan kualitas hidup atau menabung untuk masa depan.

Menanggapi kondisi ini, Bank Indonesia (BI) telah melakukan berbagai langkah intervensi untuk menjaga stabilitas mata uang. Intervensi ini termasuk menarik portofolio asing ke dalam negeri sebagai upaya untuk menstabilkan nilai tukar Rupiah. Meskipun demikian, perlu diakui bahwa stabilitas nilai tukar Rupiah sangat dipengaruhi oleh faktor eksternal seperti kondisi ekonomi global dan kebijakan moneter dari negara-negara maju.

Kepala BI, Perry Warjiyo, menekankan bahwa meskipun Rupiah mengalami pelemahan, kondisi ini masih dapat dikatakan stabil jika dibandingkan dengan mata uang negara lain di kawasan Asia Tenggara. Namun demikian, langkah-langkah ke depan perlu dipertimbangkan dengan hati-hati untuk menjaga stabilitas ekonomi domestik, terutama dalam mendukung UMKM dan masyarakat umum agar tidak terlalu terbebani dengan biaya hidup yang semakin meningkat.

Pelepasan Rupiah terhadap Dolar AS yang terus-menerus mengalami pelemahan memiliki dampak yang nyata terhadap ekonomi mikro, terutama UMKM, serta terhadap keuangan rumah tangga di Indonesia. Upaya stabilisasi yang dilakukan oleh Bank Indonesia sangat penting dalam menghadapi tantangan ini, namun perlu diimbangi dengan kebijakan-kebijakan yang mendukung pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan. Masyarakat juga perlu mempersiapkan diri dengan lebih bijak dalam pengelolaan keuangan pribadi, dengan mempertimbangkan volatilitas nilai tukar dan menyesuaikan pola konsumsi agar tetap terjaga dalam kondisi ekonomi yang tidak pasti.