Bukan Nilai yang Salah, Tapi Peta: Menemukan Diri Setelah Gagal Masuk Sekolah Impian

Diterbitkan oleh Redaksi pada Ahad, 1 Juni 2025 22:34 WIB dengan kategori Feature Suara Mahasiswa dan sudah 111 kali ditampilkan

Calista Adinda Luckyta

Mahasiswa Politeknik Negeri Jakarta

 

ahun-tahun pertama masa remaja Aulia tak pernah ia bayangkan akan diwarnai oleh perasaan gagal yang begitu dalam dan membekas. Bukan karena ia malas belajar atau kurang berusaha—justru sebaliknya. Sejak kecil, Aulia dikenal sebagai siswi yang cerdas, ambisius, dan konsisten berada di peringkat teratas. Ia mencatatkan hampir semua nilai sempurna di rapor akhir SD-nya, seolah dunia akan menyambut dengan tangan terbuka setiap langkahnya menuju jenjang berikutnya.

Ia sempat yakin, dunia akan berpihak pada anak-anak yang rajin. Namun, kenyataan tak seindah logika sederhana yang diajarkan sejak dini itu.

Tahun itu, 2017. Aulia baru saja lulus SD dengan penuh semangat, membayangkan dirinya akan segera melanjutkan pendidikan di SMP negeri favorit—sekolah impiannya sejak lama. Ia telah mempersiapkan diri sejak kelas 5. Les tambahan, jam belajar yang panjang, bahkan waktu bermain yang dikorbankan tak pernah menjadi keluhan. Semua itu dilakukan dengan satu harapan: masuk ke sekolah terbaik, tempat yang diyakininya sebagai jalan menuju masa depan gemilang.

Tapi harapan itu sirna dalam sekejap.

Bukan karena nilai Aulia tidak cukup. Bukan pula karena ia gagal dalam tes seleksi. Ia justru tak diberi kesempatan untuk membuktikan dirinya. Semua karena satu faktor di luar kendalinya: lokasi rumah. Sistem Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) saat itu sepenuhnya menggunakan zonasi, dan alamat rumah Aulia—secara administratif—berada beberapa ratus meter di luar batas zona sekolah tujuan.

“Hanya beda beberapa ratus meter dari garis zona. Padahal kalau dihitung jarak tempuh, rumahku bahkan lebih dekat dibandingkan rumah beberapa siswa yang diterima,” kenangnya dengan nada getir.

Hari itu, Aulia belajar satu pelajaran yang tak pernah diajarkan di kelas: bahwa kerja keras saja tidak selalu cukup, terutama saat sistem belum memberi ruang yang adil bagi semua.

Ia menolak menerima kenyataan itu begitu saja. Selama seminggu penuh setelah pengumuman, ia menutup diri dari media sosial. Ia menghindari unggahan teman-teman yang merayakan keberhasilan masuk sekolah negeri favorit. Di dalam hatinya, ada rasa gagal yang mengendap: gagal sebagai anak, gagal sebagai murid teladan, dan gagal memenuhi harapan orang tua.

Akhirnya, Aulia mendaftar ke sekolah swasta terdekat—bukan karena pilihan, melainkan karena keadaan. Ia masuk dengan hati yang penuh luka, langkah yang berat, dan semangat yang nyaris padam. Setiap pagi ia pergi ke sekolah bukan dengan harapan, tapi dengan rasa kecewa yang masih menggumpal.

Namun, waktu perlahan mengubah segalanya.

Di sekolah barunya, Aulia bertemu dengan seorang guru Bahasa Indonesia yang melihat potensi dalam dirinya—bukan hanya dari nilai, tapi dari cara ia merangkai kata. Guru itu mendorongnya untuk menulis. Awalnya puisi untuk mading, kemudian esai untuk ujian, hingga akhirnya Aulia dipercaya mewakili sekolah dalam lomba karya tulis ilmiah. Meskipun sempat ragu, dorongan dan kepercayaan yang diberikan membuatnya perlahan menemukan sesuatu yang baru: rasa cinta pada menulis.

“Aku mulai suka menulis. Awalnya cuma buat tugas. Tapi lama-lama, aku sadar bahwa kegiatan itu pelan-pelan mengobati rasa kecewaku dulu,” ucap Aulia dengan mata berbinar.

Yang semula ia anggap sebagai "rencana cadangan", ternyata berubah menjadi tempat tumbuh yang sesungguhnya. Ia menemukan komunitas yang tidak hanya mendukung, tapi juga memahami. Teman-teman yang sama-sama pernah merasa ditolak, gagal, atau terpinggirkan oleh sistem yang kaku.

“Kami belajar saling mendengarkan. Rasanya seperti menemukan orang-orang yang paham rasanya tidak dianggap cukup, meskipun sudah berusaha keras,” tambahnya.

Hari ini, Aulia adalah mahasiswi semester empat jurusan Jurnalistik di salah satu politeknik negeri di Jakarta. Ia aktif di organisasi kampus, terlibat dalam berbagai kepanitiaan, dan pernah bekerja sebagai asisten pribadi lepas—sebuah pengalaman yang membuka matanya terhadap dunia profesional sejak dini.

“Aku belum sempat magang. Tapi jadi asisten pribadi mengajarkanku banyak hal: bagaimana mengatur jadwal, membangun komunikasi yang profesional, dan memegang tanggung jawab dengan serius,” jelasnya.

Kini, Aulia mulai menulis feature seperti ini—bukan sekadar untuk tugas kampus, tapi sebagai ruang bercerita dan penyembuhan. Terkadang ia menulis untuk menyuarakan keresahan, terkadang sebagai cara membalut luka lama yang masih tersisa dari masa kecil yang penuh harapan namun sempat terhempas.

“Aku dulu pikir aku ini anak gagal. Tapi ternyata aku cuma belum menemukan jalanku sendiri,” ucapnya pelan.

Aulia menyadari bahwa kisahnya bukanlah kisah tunggal. Di luar sana, banyak anak lain yang mungkin merasakan hal serupa—merasa tidak cukup hanya karena rumah mereka tidak berada di titik yang “tepat”. Padahal semangat mereka besar. Nilai mereka tinggi. Dan kerja keras mereka nyata.

“Sistem zonasi sebenarnya punya niat baik. Tapi kalau kualitas sekolah belum merata, sistem ini bisa menyakiti anak-anak yang justru paling rajin dan paling siap,” katanya dengan nada tenang namun tegas.

Dan itu menyakitkan—terutama ketika kamu baru berusia 12 tahun dan belum tahu cara menyembuhkan kecewa.

Hari ini, Aulia mungkin belum menjadi “orang sukses” seperti yang sering ditampilkan di layar kaca. Ia belum lulus kuliah, belum magang di media ternama, dan belum punya prestasi mencolok untuk dipamerkan di media sosial.

Tapi ia terus melangkah. Dengan langkah yang lebih matang, lebih sadar, dan lebih percaya diri. Karena kini ia tahu: ada banyak jalan di luar garis zona. Jalan yang tidak selalu mulus, tidak selalu terang, tapi justru membawanya lebih dekat pada versi terbaik dari dirinya sendiri.

Dan mungkin, kalau hari itu ia diterima di sekolah impian, ia tak akan pernah bertemu jurnalistik. Tak akan pernah tahu betapa menulis bisa menyembuhkan. Dan tak akan pernah menyadari, bahwa tempat terbaik untuk bertumbuh tidak selalu tempat yang diidamkan sejak awal.

Karena kadang, justru dari jalan yang tidak direncanakan, kita menemukan siapa diri kita sebenarnya.