Bukan Gagal, Hanya Bergeser: Kisah Ara Menemukan Jalan yang Tak Terduga.
Savitri Shalssabila
Mahasiswa Politeknik Negeri Jakarta
Sebagian orang membuat janji pada orang lain. Sebagian lagi memilih berjanji pada dirinya sendiri. Janji-janji itu biasanya diam tak diumumkan, tak ditulis, tapi tetap terasa berat saat gagal ditepati.
Begitulah yang dirasakan oleh Ara, seorang gadis muda yang sejak awal perkuliahan memiliki satu tekad: lulus kuliah dalam waktu kurang dari empat tahun. Ia menyusun rencana dengan rapi, menata langkah-langkah, dan menetapkan target seolah-olah dunia akan berjalan sesuai skenario.
Namun kenyataannya, hidup lebih suka menantang dengan jalan-jalan tak terduga.
“Saya merasa gagal memenuhi janji terhadap diri saya sendiri,” ujarnya pelan, mengingat hari-hari ketika kenyataan tak sejalan dengan harapan.
Meskipun akhirnya Ara tetap lulus tepat waktu, kenyataan bahwa ia tak mencapai target yang ditetapkan sejak awal terasa menyesakkan. Rasanya seperti gagal, meskipun orang lain menganggap hasilnya tetap memuaskan. Sebab bagi dirinya, bukan hanya kelulusan yang penting—tetapi juga waktu, janji, dan harapan pribadi yang tidak tercapai.
Saat Target Menjadi Tekanan
Dalam diam, rasa kecewa itu menjelma menjadi tekanan. Ara mulai membandingkan dirinya dengan teman-teman yang lebih dahulu menyelesaikan studi. Ia mempertanyakan setiap keputusan yang telah diambil—apakah itu pilihan yang tepat? Apakah usahanya selama ini sudah cukup?
“Saya sempat menyalahkan diri sendiri. Rasanya seperti... semua perjuangan saya sia-sia karena gagal di detik terakhir.”
Namun, seperti hujan yang berhenti dan digantikan pelangi, perspektif pun berubah perlahan. Ia mulai melihat dari sisi lain bahwa setiap orang punya waktunya masing-masing. Bahwa tidak semua hal harus sesuai rencana agar bisa dianggap berhasil. Bahwa proses itu bukan hanya tentang cepat atau lambat, tetapi tentang seberapa dalam kita belajar.
Hadiah Tak Terduga Sebelum Garis Akhir
Titik balik datang dari hal yang tak disangka—Ara mendapatkan pekerjaan bahkan sebelum resmi lulus. Sebuah pencapaian yang seharusnya menjadi penanda sukses, bukan kegagalan.
“Tuhan kasih saya pekerjaan duluan. Padahal saya belum lulus waktu itu. Di situ saya mulai sadar... ternyata hidup nggak selalu pakai hitungan waktu kita.”
Kata-katanya ringan, tapi penuh makna. Keyakinannya yang paling kuat bukan berasal dari pujian orang lain, tapi dari dalam dirinya sendiri. Ia percaya bahwa setiap hal punya waktunya. Apa yang memang ditujukan untuk kita, tak akan pernah menjadi milik orang lain. Dan sebaliknya, apa yang bukan untuk kita, tidak bisa dipaksakan untuk tinggal.
Pelan-Pelan Belajar Menerima
Dalam perjalanannya, Ara belajar banyak. Tentang bagaimana menerima kenyataan, meski tak sesuai harapan. Tentang bagaimana membiarkan hidup berjalan lebih luwes, tanpa kehilangan arah.
"Saya jadi lebih sabar. Lebih bisa terbuka dengan kemungkinan lain. Sekarang saya tahu, kadang hal-hal yang tidak sesuai rencana justru yang paling banyak ngajarin saya."
Kini, Ara menjalani hidup dengan lebih tenang. Ia tidak lagi terlalu terfokus pada garis waktu, karena ia tahu bahwa keberhasilan bukan soal siapa yang tiba lebih dulu tetapi tentang siapa yang tetap berjalan, meskipun jalannya tidak selalu lurus.
Untuk Kamu yang Sedang Merasa Gagal
Jika kamu sedang merasa gagal, jika targetmu tidak tercapai, jika kamu sedang kecewa pada dirimu sendiri mungkin cerita Ara bisa menemanimu dalam diam. Mungkin kamu perlu tahu, bahwa orang lain pun pernah ada di posisi itu. Dan mereka bisa melewatinya.
"Gagal itu bukan berarti kamu tidak mampu. Gagal itu cara hidup memberimu waktu untuk belajar lebih dalam."
Bagi Ara, kegagalan bukanlah akhir dari segalanya. Justru sebaliknya itu adalah undangan untuk refleksi, untuk bertumbuh, dan untuk melihat ke dalam diri. Sebab kadang, dari kegagalanlah muncul karakter yang paling kuat, paling jujur, dan paling siap menghadapi masa depan.
“Jangan buru-buru menyerah. Karena hal-hal baik sering datang dari arah yang tidak kamu sangka.”