Ikatan Positif, Pendakian Gunung Gede

Diterbitkan oleh Redaksi pada Kamis, 5 Juni 2025 23:55 WIB dengan kategori Opini Suara Mahasiswa dan sudah 66 kali ditampilkan

OPINI:

Zihan Muhtafa

Mahasiswa Politeknik Negeri Jakarta

 

Mendaki Gunung Gede bukan sekadar perjalanan fisik, melainkan juga perjalanan emosional dan sosial. Gunung yang megah ini menjadi ruang terbuka bagi ujian ketangguhan sekaligus panggung solidaritas. Di tengah rintangan alam, tumbuh persahabatan yang kuat dan tulus.

Ribuan pendaki dari berbagai latar belakang dan usia datang dengan satu tujuan: menaklukkan puncak. Namun, proses menuju ke sana bukan hanya soal kekuatan tubuh, melainkan juga tentang kebersamaan dalam menghadapi jalur terjal, cuaca yang tak menentu, dan keterbatasan logistik.

Gunung Gede memberi pelajaran penting tentang kepercayaan dan kerja sama. Dalam situasi sulit, para pendaki belajar saling bergantung dan membantu. Di situlah fondasi hubungan positif mulai terbentuk.

Kisah seorang pendaki bernama Bintang menggambarkan bagaimana pengalaman mendaki Gede mengubah hubungan biasa menjadi ikatan layaknya keluarga. “Kami awalnya hanya teman kampus. Tapi setelah turun gunung, rasanya seperti saudara kandung,” ungkapnya penuh haru. Kebersamaan mereka dalam membangun tenda dan berbagi makanan memperkuat ikatan itu.

Dalam menghadapi jalur yang menantang, setiap pendaki harus saling mendukung tanpa pandang bulu. Ketika ada yang kelelahan, yang lain dengan sigap membantu membawa tas atau menyemangati. Tindakan-tindakan kecil seperti inilah yang menumbuhkan empati dan solidaritas sejati.

Gunung menjadi tempat bertemunya pendaki muda dan tua, pemula dan berpengalaman. Interaksi lintas generasi dan latar belakang ini menjadikan pendakian sebagai sekolah karakter. Mereka belajar menguatkan satu sama lain dan menjaga keselamatan bersama.

Navigasi jalur seperti Cibodas hingga mendirikan camp mengajarkan pentingnya komunikasi yang efektif. Pendaki harus mampu berbicara jelas, mendengarkan dengan saksama, dan memahami kebutuhan tim. Inilah dasar dari hubungan yang sehat dan saling menghargai.

Ketika cuaca berubah drastis menjadi hujan deras, perlengkapan dibagikan, semangat saling ditiupkan. Rasa takut berubah menjadi keberanian karena adanya dukungan dari rekan seperjalanan. Itulah bukti nyata bagaimana hubungan positif teruji dalam tekanan.

Yang menarik, hubungan yang terjalin di gunung tidak berhenti saat perjalanan usai. Banyak kelompok pendaki tetap berkomunikasi dan rutin berkumpul setelahnya. Dari sinilah tumbuh komunitas kecil dengan nilai kepercayaan dan solidaritas yang kuat.

Pendakian juga memberi ruang untuk refleksi dan penerimaan diri. Dalam sunyi alam, pendaki belajar menghargai perbedaan, memahami kekuatan bersama, dan memupuk sikap saling menghormati—modal penting untuk membina hubungan positif di luar pendakian.

Kegiatan seperti briefing dan evaluasi turut membentuk kedewasaan. Para pendaki belajar mengelola konflik, memperbaiki komunikasi, dan memperkuat tanggung jawab pribadi dan kolektif.

Tak jarang, komunitas pendaki yang terbentuk dari pengalaman ini melakukan aksi konservasi bersama: membersihkan jalur, mengedukasi pendaki lain, dan menjaga kelestarian alam. Ini menjadi wujud nyata kepedulian terhadap lingkungan dan masyarakat.

Hubungan positif yang terjalin dalam pendakian Gunung Gede adalah buah dari pengalaman bersama. Di tengah tantangan dan keindahan alam, manusia belajar saling menguatkan. Gunung bukan sekadar destinasi, tapi tempat mendewasakan diri—sebuah sekolah kehidupan.

Melalui setiap langkah yang diambil di jalur pendakian, kita diajak menjadi pribadi yang lebih empati, tangguh, dan bertanggung jawab. Dari gunung, kita pulang membawa lebih dari sekadar kenangan—kita membawa nilai.