Mengguritakan Kurikulum Wirausaha
Jiwa kewirausahaan harus dipupuk sejak kecil sehingga selesai menjalani pendidikan kita tidak sekedar menjadi pencari kerja tapi menjadi pencipta lapangan kerja (pengusaha).
Jiwa kewirausahaan harus dipupuk sejak kecil sehingga selesai menjalani pendidikan kita tidak sekedar menjadi pencari kerja tapi menjadi pencipta lapangan kerja (pengusaha).
Demikian ungkap Presiden SBY dalam sebuah pidatonya yang kemudian dikutip oleh salah satu media cetak harian nasional. Apa yang dikatakan Presiden SBY tentunya bukan sesuatu yang mengada-ada. Ditengah keterpurukan ekonomi bangsa saat ini, Indonesia membutuhkan para pengusaha-pengusaha yang mampu membuka lapangan kerja yang luas.
Kendati demikian, harus disadari pula sistem pendidikan yang selama ini hanya mengasah kecerdasan IQ saja tidak akan cukup untuk menciptakan para pengusaha yang umumnya memiliki segala macam bentuk kecerdasan: pikiran, emosional dan spritual. Dengan kata lain, jika ingin mengimplementasikan apa yang dituturkan oleh SBY, maka menurut penulis perlu rasanya setiap kurikulum yang ada diberikan polesan atau sentuhan kurikulum berbasis wirausaha.
Tentunya polesan itu harus diberikan kepada seluruh tingkat atau jenjang pendidikan di Indonesia dari tingkat SD hingga perguruan tinggi.
Persoalannya sekarang, ada trouble (masalah) dalam sistem pendidikan kita. Harus kita akui, selama ini sistem pendidikan kita hanya mendidik secara kognitif saja sehingga pasca pendidikan, lulusan sarjana kita tidak tahu ingin jadi apa dan harus kemana.
Dan pada akhirnya, kemana-mana menenteng ijazah membaca koran dan mencari lowongan kerja.
Terus terang penulis pun hampir terjerembat dalam lubang yang sama. Tak pernah terlintas dan terbayang dalam benak penulis untuk jadi seorang pengusaha karena memang sistem pendidikan kita mengajarkan kita untuk menjadi pekerja.
Sistem pendidikan kita hanya mengajarkan kita untuk selalu khawatir dan takut untuk mengambil resiko. Sementara pengusaha adalah orang-orang yang tak takut untuk mengambil resiko dan berani berspekulasi.
Dalam kira-kira 15 tahun terakhir sarjana lulusan universitas di Indonesia yang menjadi penganggur maupun setengah penganggur di Indonesia menjadi penganggur maupun setengah penganggur mencapai jumlah tidak sedikit.
Data dari Harian Kompas (4 Maret 1997) menunjukkan, pada 1989 dan 1995 laju peningkatan pengangguran lulusan Perguruan Tinggi (PT) di Indonesia adalah 22,73 pertahun. Sementara, laju peningkatan pengangguran lulusan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) dan Atas (SLTA) adalah 14,94 pertahun; lulusan SD, putus sekolah dan tidak pernah sekolah 29,70 persen (Agus Suwigno: 2007: 2).
Penulis tidak akan memaparkan hal ini lebih jauh.
Ke depan, angka-angka ini menurut penulis perlu diubah dan diganti bukan angka pengangguran, tetapi berapa jumlah angka pengusaha yang ada.
BPS harus mampu mengekspose berapa jumlah penduduk yang telah memiliki usaha karena sesuai dengan apa yang dikatakan SBY bahwa bangsa ini memerlukan jiwa wirausaha. Bagaimana jiwa atau semangat wirausaha bisa tumbuh jika tidak dibarengi data atau survai-survai tentang jumlah wirausaha itu tidak di ekspose, tentunya apa yang disampaikan oleh SBY di atas nonsense dapat dilaksanakan Itulah sebabnya, penulis begitu ngotot untuk menulis tulisan ini.
Secara umum, penulis melihat untuk mewujudkan apa yang dikatakan SBY diperlukanebuah kurikulum wirausaha, tetapi bukan kurikulum wirausaha yang sifatnya teoritis, tetapi mengarah kepada hal-hal yang praktis. Ada baiknya, pemerintah meminta pendapat dan masukan dari pengusaha sukses apa yang membuat mereka bisa memiliki perusahaan besar dan kaya.
Penulis kemudian tidak berpikir radikal untuk mengusulkan dan mengubah atau bahkan merevolusi sistem pendidikan yang ada, sebab itu juga bukan langkah yang tepat. Harus secara perlahan tapi pasti. Untuk mengatasi persoalan ini menurut penulis ada beberapa tahapan yang sepertinya perlu dilakukan. Pertama, memoles semua kurikulum pendidikan kita dengan semangat wirausaha.
Apapun pelajarannya harus diajarkan bagaimana peserta didik mampu menjual apa yang dipelajarinya. Sebagai contoh, mahasiswa pertanian tidak hanya diajarkan riset untuk meneliti masalah pertanian, tetapi perlu juga diajarkan bagaimana menjual hasil risetnya ke publik begitu juga dengan mata kuliah yang lainnya.
Kedua, selain kurikulum wirausaha, pemerintah sudah semestinya membuat dan mendukung sekolah-sekolah wirausaha untuk memunculkan kekreatifan para calon pengusaha baik di tingkat nasional maupun daerah. Ketiga, memberikan pendidikan wirausaha kepada seluruh tenaga pendidik karena sadar atau tidak tenaga pendidiklah yang memiliki peranan penting dalam mendidik tenaga didikannya. Dengan kata lain, tenaga guru atau pendidik sangat berpengaruh dalam membentuk kepribadian wirausaha tenaga didik.
Jika tenaga pendidiknya tidak memiliki mental wirausaha, maka sebagus apapun kurikulum wirausaha yang dibuat, tentunya tidak akan berpengaruh karena mental tenaga pendidiknya tidak dicuci terlebih dahulu. Nah, inilah bentuk gurita kurikulum wirausaha yang harus dioperasionalkan jika bangsa ini ingin maju dan bersaing dengan negara lain. Salam sukses dan senyum dahsyat untuk pembaca semuanya.