Politik, Politisi dan Pancasila
Politik yang saat ini terjadi di Indonesia kian jauh dari yang diharapkan, jauh darinilai ketuhanan,nilai kemanusiaan, nilai persatuan, nilai kerakyatan dan nilai keadilan. Contohnya pilpres 2014 lalu, suhu perpolitikan sangat panas. Mesin-mesin politik bergerak dan bermanuver untuk menjatuhkan lawan politik. Tidak hanya itu, masyarakat yang menjadi pengosong ikut dipanas-panaskan sehingga terbentuk kubu-kubu politik.
Sehingga terbentuklah dualism rakyat.Partai politik yang berusaha memperebutkan kursi kekuasaan dalam pemilu legislatif 2014 menghalalkan segala cara. Bahkan media pun ikut diajak berpolitik demi mendulang suara sebanyak-banyaknya.
Sistem demokrasi langsung dan berbiaya tinggi semakin menyuburkan perilaku pragmatis di kalangan partai politik yang mengutamakan jalan pintas untuk kepentingan kekuasaan semata. Paradigma itu telah mengotori nilai-nilai luhur Pancasila yang mengusung prinsip ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan.
Politik yang saat ini terjadi di Indonesia kian jauh dari nilai-nilai Pancasila. Perilaku elite politik banyak yang menyimpang dan mencari celah dari hukum, dikarenakan lemahnya hukum di Indonesia. dalam menjalankan tugas sebagai wakil rakyat. Faktanya, banyak terjadi kekuasaan koruptif oleh elite politik. Partai politik yang harusnya digunakan sebagai sarana untuk mensejahterakan rakyat, justru digunakan untuk membuka akses mencari uang.
Dalam setiap pemilihan pemimpin atau presiden dan calon legislatif, sudah dapat dipastikan bahwa pertarungan untuk mencitrakan partai dan pemimpinya dalam upaya meraih simpatisan dari rakyat akan dilakukan.
Kampanye dan pencitraan melalui berbagai slogan, simbol, dan program kegiatan yang menarik perlu diwaspadai oleh masyarakat, karena banyak sekali calon legislative melakukan kebohongan semata.Politik uang masih terjadi dalam pertarungan pilpres 2014,yang menandakan sulitnya untuk tidak berpolitik dengan mengiming-ngimingi uangdalam setiap pemilu.
Sudah menjadi rahasia umum bila politik uang masih digunakan dalam sistem perpolitikan di Indonesia walau dengan trik dan cara-cara yang berbeda. Karena itu, politik uang sejatinya telah melanggar nilai-nilai Pancasila. Dalam sila Ketuhanan Yang Maha Esa telah mengajarkan manusia dalam berpolitik untuk selalu jujur dan amanah, tidak melanggar nilai-nilai agama dalam berpolitik.
Dalam pertarungan pilpres 2014, partai politik harus transparan dan akuntabel dalam dana kampanye yang sudah diberikan. Sebab dana kampanye itu biasanya diambil dari anggaran negara. Para elite politik parpol yang duduk dalam kekuasaan negara dapat mengakses uang negara untuk kepentingan parpol. Lihat saja fakta di lapangan, banyak elite politik yang melakukan praktik korupsi dari uang negara. Hal itu tak lain untuk memenuhi kebutuhan parpol. Fenomena itu menegaskan bahwa berdirinya partai politik telah jauh dari nilai-nilai Pancasila dan telah melukai nilai kemanusiaan dan kerakyatan bangsa Indonesia.
Dalam sila pertama, telah dijelaskan Ketuhanan Yang Maha Esa telah memberikan landasan kuat bagi kehidupan umat beragama di Indonesia. Keimanan harus dijadikan petunjuk dalam berpolitik sehingga sebagai bentuk praksis adalah tegaknya keadilan yang merata untuk semua rakyat.
Dalam sila kedua, yakni Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, tidak dapat ditafsirkan lain, selain bahwa partai politik dan elite politik ini wajib menegakkan keadilan dan keadaban dalam berperilaku, baik secara individual maupun dalam kehidupan kolektif di ranah politik. Penyimpangan dari sikap adil dan beradab adalah bentuk pengkhianatan terbuka pada sila kedua.
Sila ketiga, Persatuan Indonesia, sikap perbedaan dalam kesatuan, kesatuan dalam perbedaan. Perubahan itu juga berdampak pada parpol di Indonesia. Parpol berperilaku sebagai individu yang bebas dan kuasa penuh tanpa konsiderasi terhadap kesatuan, yaitu kepentingan masyarakat dan bangsa. Parpol secara terus terang mengejar pencapaian kekuasaan untuk mewujudkan ke- pentingan yang tidak peduli pada kepentingan umum. Anggota parpol yang duduk dalam pemerintahan dan legislatif bukan berfungsi sebagai wakil rakyat, melainkan sebagai wakil parpol. Sikap dan perilaku parpol yang sudah amat menyeleweng dari kaidah yang berlaku dalam Pancasila diperparah lagi dengan sikap dan perilaku banyak anggotanya, yakni terkait dengan perilaku yang korupsi. Anggota parpol menunjukkan sikap dan perilaku sesuai dasar kebebasan penuh mutlak seperti dalam pandangan Barat dan tidak menghiraukan harmoni dan keselarasan sebagaimana ditetapkan Pancasila.
Sila keempat berupa kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, tegas sekali memerintahkan bahwa demokrasi harus ditegakkan secara bijak melalui sistem musyawarah yang bertanggung jawab dan dengan lapang dada. Di luar cara-cara ini, sila kerakyatan yang mengandung prinsip demokrasi itu hanyalah akan membuahkan malapetaka berkepanjangan yang telah menjadikan bangsa ini kelinci percobaan politik yang tunamoral. Dalam perpolitikan di Indonesia, demokrasi bukan lagi dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat, tetapi dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk parpol. Hal itulah yang menimbulkan kekacauan dalam berpolitik. Suara-suara rakyat hanyalah untuk kepentingan parpol. Setelah partai politik menang, rakyat yang memilihnya nasibnya tidak diperhatikan. Hal itu jelas melanggar nilai-nilai luhur Pancasila. Sila kelima adalah keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Keadilan yang ditegakkan oleh elite politik dan partai politik hanyalah isapan jempol. Aspirasi rakyat Indonesia dalam menuntut keadilan pada wakil rakyatnya di DPR hanya lips service belaka. Elite politik dan parpol yang dipilih rakyat telah lupa akan nasib keadilan ekonomi dan kesejahteraan bagi konstituennya. Angka pengangguran dan kemiskinan di Indonesia yang semakin tinggi adalah bukti bahwa elite politik dan partai politik tidak memahami sila keadilan ini dan tidak pernah perduli secara sungguh-sungguh melalui program pemerintah yang berpihak pada masyarakat Indonesia yang termarjinalkan dalam sosial-ekonomi. Hal ini menunjukkan partai politik belum memenuhi rasa keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia yang terdapat dalam nilai-nilai Pancasila.
Karena itu, kita sebagai rakyat harus cerdas dalam memilih kriteria calon pemimpin serta para elite politik. Dalam hal ini yang perlu ditekankan serta menjadi indikator bagi setiap elite politik ialah “ahlaknya”, karena ahlak itulah yang akan menghantarkan kita menuju kesejahteraan atau sebaliknya.
Semakin baik ahlaknya, maka semakin baik pemerintahan ini, apabila buruk ahlak pemimpin kita, maka semakin buruklah bangsa ini kedalam jurang kehancuran.
Kejahatan money politik tidak akan terjadi jika ahlak dari parpol dan calonnya baik. Sebagai pemilih cerdas harus sadar bahwa ketika ada caleg yang memberikan uang dan berjanji untuk memilihnya, itu sebenarnya sudah menandakan bahwa ada sesuatu yang diharapkan ketika ia menjadi pemimpin. Jadi tidak heran jika mereka menjadi pemimpin maka akan banyak kasus yang terjadi, seperti korupsi, kolusi dan nepotisme pemerintahan.
Ahlak yang baik akan mencerminkan sikap dan kepribadian yang baik pula, karena itu Raja Ali Haji pernah menyampaikan dalam Gurindam 12 pada pasal ke-5 bait ke 3, yang bunyinya “Jika hendak mengenal orang mulia
Lihatlah kepada kelakuan dia”.
Menurut seorang ustad ia mengatakan, sesungguhnya pemimpin kita saat ini sedang krisis ahlak, karena dari segi pemikiran para pemimpin kita adalah orang-orang pintar, dan juga memiliki gelar. Namun karena ahlak mereka belum terlatih menyebabkan iman mereka hilang dan nafsunya menguasai dirinya sehingga ia melakukan tindakan yang tidak semestinya dilakukan.
Untuk memperbaiki ahlak pemimpin negeri yang rusak, maka kepada para pemuda-pemudi tidak perlu mencaci maki mereka yang justru menambah keruh suasana, namun kalian cukup bersyukur masi diberi kesempatan untuk bertaubat. Maka untuk merubah itu semua marilah sama-sama memulainya dari diri sendiri, dan mulai melakukan kebaikan dari yang kecil-kecil, dan mulailah dari sekarang.
Dengan demikian, ketika kita menjadi pemilih cerdas kita berharap pada pendiri partai politik dan tokoh partai politik, elite politik harus selalu menjunjung tinggi ahlaknya sehingga ia bisa menjaga nilai-nilai Pancasila sebagai sumber utama dalam etika politik dan sistem demokrasi di Indonesia. Dengan selalu menegakkan nilai-nilai Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika dalam perpolitikan di Indonesia, kita berharap kesejahteraan dan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia dapat tercapai dan diimplementasikan oleh elite politik dan parpol.
*Mahasiswa Ilmu Pemerintahan Umrah dan Aktivis KAMMI