Pemimpin Berpikir dan Bertindak Cendikiawan
Jadi pemimpin politik harus berpikir cendikiawan dan berjiwa kebangsaan, jangan hanya mengandalkan pencitraan yang sifatnya semu.
Jadilah pemimpin yang merakyat, rendah hati dan tidak sombong. Pemimpin yang berpikir cendekiawan adalah pemimpin yang selalu membuat kebijakannya selalu terukur/meuserebel dan jelas inputnya. Input dalam artian data-data yang diambil semuanya A1 alias akurat inputnya, barulah kemudian dieksekusi kebijakannya demi kemaslahatan masyarakat.
Kemudian pemimpin yang berpikir cendekiawan selalu memupuk diskusi kepada rakyatnya, karena pemimpin seperti itulah yg merakyat. Pemimpin yang merakyat tentunya selalu akan melakukan observasi mendalam atau terlibat langsung dilapangan, sehingga bisa secara empiris dan empirisme merasakan bagaimana penderitaan rakyat atau masyarakat. Pemimpin yang berpikir ilmiah lebih rasional dalam tindakannya, karena selalu mengedepankan cara-cara yang bisa dipertanggungjawabkan.
Pemimpin yang berpikir cendekiawan, selalu memperkecil resiko tindakannya terhadap public, karena tindakan penguasa akan diminta pertanggungjawaban oleh public kalau tindakannya tidak sejalan dengan rasa keadilan dimasyarakat, tentu saja kebijakan tersebut merugikan masyarakat. Pemimpin berpikir cendekiawan tidak mengedepankan emosional dalam memerintah, karena justru akan merugikan pemerintah secara keseluruhan, oleh karena itulah setiap pemimpin yang punya latar belakang pendidikannya sarjana baik s1,s2 dan s3, mestinya harus bisa menerapkan cara berpikir ilmiah setiap mengambil kebijakannya.
Secara fungsional pemimpin yang berpikir cendekiawan dapat menjalankan azaz-azaz pemerintahan yang baik, mengukur kinerja dan pertumbuhan ekonomi. Seorang pemimpin yang dipilih langsung oleh rakyatnya, punya beban moral dipundaknya untuk melaksanakan tanggungjawab yang diamanahkan masyarakat kepadanya. Pemimpin yang cendekiawan tentu saja bijak dalam melaksanakan beban moral tersebut, karena mengambil kebijakan berdasarkan kaca mata public yang sahih dan terukur dimasyarakat. Bukannya dengan egosentrisme penguasa yang tidak mendengar aspirasi public, sehingga membuat emosi sebal dikalangan masyarakat. Masyarakat suka berseloroh,” kalau pilkada kita diminta harus memilih gubernur,walikota dan bupati”,tetapi setelah terpilih suara kita tidak atau kurang diperhatikan oleh penguasa. Masyarakat secara fungsional bukan memilih SKPD atau kepala dinas disetiap instansi, tetapi memilih penguasa untuk empowering, servicing dan development dimasyarakat.
Jadi secara fakta sosial pemimpin yang berpikir cendekiawan, selalu melihat keluar atau looking glass self atau bercermin dimasyarakat, bagaimana persepsi masyarakat terhadap dirinya sebagai penguasa, sehingga bisa tahu secara situasional ekpektasi atau harapan masyarakat. Terlalu simple atau sederhana memang kalau kita melihat pemimpin saat ini yang kurang peka terhadap rakyatnya, padahal menurut H. Agus Salim, pemimpin harus menderita, itu artinya penguasa itu harus ditengah-tengah masyarakat secara empiris dan empirisme terlibat secara terus-menerus, sehingga bisa merasakan bagaimana masyarakat itu bekerja. Seperti yang dilakukan oleh Khalifah Islam yang Kedua yaitu Umar Bin Khatab yang sidak dengan cara sembunyi-sembunyi turun kemasyarakat, sehingga tahu dimasyarakat ada yang tidak makan. Sehingga dengan inisiatif beliau sendiri memanggul gandum untuk diberikan kepada keluarga tersebut. Ini menandakan seorang pemimpin yang berpikir cendikiawan tidak hanya secara empirisme, tetapi secara empiris juga tahu dan empatik terhadap rakyatnya. Contohnya seperti menteri perikanan Ibu Susi Pujiwati, yang hanya berpendidikan rendah tetapi jumawa dan berani terhadap para pencuri ikan dilaut. Kemudian beliau tidak saja tahu secara empirisme atau pancaindrawi potensi ikan dan lain-lain dilaut, tetapi juga secara empiris atau ikut merasakan juga terlibat sebagai pengepul ikan sampai jadi pengusaha lobster dan pengusaha yang berorientasi ekspor. Disinilah beliau punya pengalaman secara empirisme dan empiris dilapangan.
Pemimpin yang berpikir cendekiawan harus juga cepat dan terukur bahwa pembangunan insfrastruktur merupakan jantung pertumbuhan ekonomi didaerah, banyak studi dan diskusi yang menyimpulkan demikian. Dalam konteks kedaerahan seorang pemimpin yang berpikir cendekiawan harus mengerti potensi sumber daya alam local dan yang tidak kalah pentingnya adalah kearifan local atau istilah kerennya Local Wisdom. Agar pembangunan didaerah bisa terus efektif dan efesien sesuai dengan kebutuhan masyarakat local jadi kuncinya.
Pemimpin yang berpikir cendekiawan punya kepekaan sosial yang tinggi terhadap kehidupan sosial masyarakat, karena sudah dilatih pada saat menjadi mahasiswa yang tidak saja pintar intelektual, tetapi harus juga pintar emosional dan spiritualisme. Sehingga secara paralel saat menjadi pemimpin tentu saja kepekaan sosial itu ukurannya adalah rasa sosial masyarakat. Misalnya bagaimana rasanya kalau tidak punya materi untuk sekolahkan anaknya, tentu saja penguasa yang pintar secara emosional merasa kalau terjadi pada dirinya tentu saja pahit dan keluh yang dirasakanya. Itu kalau dilihat secara sudut fungsional saja, bagaimana dengan pandangan konflik yang terjadi saat ini, tentu saja akan panjang analisisnya.
Secara konflik suatu hal yang lumrah apabila dalam kehidupan masyarakat menyuarakan protes dan kritik terhadap pemimpin yang tidak punya kepekaan sosial ditengah masyarakatnya. Pemimpin yang berpikir cendekiawan harus juga berkuping tebal dan tidak berkuping tipis saat dikritik oleh masyarakat, karena sejatinya penguasa yang dipilih rakyat secara langsung pasti juga memiliki kelemahan-kelemahan saat menjadi pemimpin. Pemimpin yang berpikir cendekiawan harus mengedepankan kepentingan public dan menjalankan pemerintahan dengan baik dan benar, sesuai dengan azaz-azaz pemerintahan yang baik. Tetapi pada saat dalam memimpin ternyata ada motif, tujuan dan kepentingan yang sedikit saja menguntungkan segelintir elit dilingkaran penguasa dan ditambah lagi banyaknya para sengkuni atau penghasut dilingkaran tersebut, tentu saja public akan melakukan control sosial terhadap kepemimpinannya.
Pemimpin politik yang berpikir cendekiawan harus menghindarkan diri dari konflik kepentingan yang membayanginya, seperti presiden soekarno katakan: loyalitas kepada bangsa harus nomor satu diatas kepentingan golongan dan kelompok. Apalagi rangkap jabatan sangat tidak sesuai dengan etika pemerintahan. Jika peraturan perundang-perundangan tidak mengatur suatu hal boleh dan tidak boleh atau pantas dan tidak pantasnya suatu perbuatan itu bukan merupakan dalih atau alasan penguasa untuk berkelit. Karena kita tidak saja memiliki hokum tertulis tetapi ada juga hokum yang tidak tertulis (ungeschriebenes recht) yang dijadikan sebagai pedoman berperilaku dan bertindak. Dalam hal ini berlaku code of ethics, terutama ukuran kepantasan.
Pemimpin yang berpikir cendekiawan dalam tindakannya selalu inginkan berita yang A1 atau presisi dan akurat, tidak hanya mengandalkan orang disekelilingnya yang hanya pandai menjilat dan mengkambinghitamkan orang lain. Karena itu juga pemimpin yang berpikir cendekiawan selalu menjadikan masukan bawahan sebagai hipotesa atau dugaan sementara yang dibutuhkan jawaban yang konkrite dan tidak scripturalisme atau rasionalisme. Berpikir dan bertindaknya harus post-factum atau ilmiah secara empirisme dan empiris dilapangan. Karena kalau tidak justru penguasa akan terjebak dengan propaganda dan agitasi orang disekelilingya. Ini tentu saja tidak sehat, tidak demokratis dan sangat merugikan masyarakat pada umumnya.
Karena secara sudut pandang konflik internal penguasa pasti ada sengkuni politik yang mengambil keuntungan dan sebagai rent seeking atau pemburu rente dilingkaran kekuasaan oligharkis. Tentu saja, “politik sengkuni” harus dihindari karena kelihaian para sengkuni didaerah dengan semua kelihaian dan kelicikannya membungkus semua taktik dan cara-cara meraih kemenangan yang sesungguhnya culas dan licik itu dengan bungkus kata-kata dan perilaku yang seolah-olah memperdulikan moral. Padahal sejatinya kesenangannya adalah menghasut,menipu dan memfitnah, singkatnya jiwanya adalah seorang munafik. Jadi pemimpin yang berkarakter cendekiawan berpikir dan tindakannya haruslah lurus menjalankan aturan-aturan yang berlaku, dan harus selalu waspada dengan lingkaran kekuasaannya. Karena dilingkaran kekuasaannya kemungkinan ada saja yang punya motif tujuan dan kepentingan yang tersembunyi.
Pemimpin politik yang berpikir dan bertindak cendekiawan harus tahu makna kekuasaan yang sejatinya mampu mempengaruhi orang lain. Inilah kesempatan pemimpin untuk mempengaruhi masyarakat agar daerah yg dipimpinnya bisa aman dan tidak terjadi konflik dimasyarakat. Makna ini harus bisa mampu mempengaruhi para birokrat yang ada dalam genggamannya untuk bekerja secara produktif dan maksimal. Pemimpin politik yang tahu tentang makna kekuasaan yang dipimpinnya mampu menciptakan symbol kekuasaannya untuk mampu melakukan komunikasi politik secara baik dan mudah dimengerti oleh masyarakat kebanyakan atau umunya. Kemudian kekuasaan yang dimilikinya mampu melakukan komunikasi kebawah jajarannya untuk mengelola manajemen pemerintahan yang baik.
Pemimpin politik yang berpikir dan bertindak cendekiawan mampu berkomunikasi dan mengambil peran yang mengacu pada bagaimana kita melihat sistuasi sosial orang lain dimana masyarakat yang dipimpinnya akan melakukan respon. Disinilah pentingnya pemimpin yang tahu akan kondisi sosial masyarakat yang dipimpinnya. Pemimpin politik seperti ini merasakan bagaimana kalau seandainya dibalik menjadi masyarakat biasa. Dipimpin oleh pemimpin yang tidak peka terhadap persoalan-persoalan ditengah masyarakat, akhirnya pemimpin seperti ini kurang laku ditengah-tengah masyarakat, akibat dari tidak adanya sense of crisis dimasyarakat. Pemimpin politik yang berpikir dan bertindak secara cendekiawan juga harus mampu melakukan interaksi sosial atau komunikasi yang intensif terhadap rakyat yang dipimpinnya, karena masyarakat dibentuk, bertahan dan berubah berdasarkan kemampuan pemimpin dalam mendefinisikan apa agenda program dan proyeksi untuk kesejahteraan masyarakat, kemudian baru melakukan refleksi dan evaluasi.
Selanjutnya pemimpin yang berpikir dan bertindak cendikiawan harus bisa melihat dunia masyarakat yang dipimpinnya sebagai arena pertukaran, tempat orang-orang saling bertukar ganjaran/hadiah. Apapun bentuk perilaku sosial, seperti persahabatan, perkawinan, atau perceraian tidak lepas dari soal pertukaran. Ini berarti pemimpin harus bisa tahu dan mengerti bahwa masyarakat yang dipimpinnya perlu penghargaan dari inovasi terhadap kreativitas masyarakat dikalangan bawah. Pemimpin harus punya inisiatif memberikan penghargaan terhadap adanya tokoh masyarakat, ataupun tokoh agama,pemuda yang mampu menggerakkan masyarakat untuk kreatif dan trampil dalam sector apapun. Pemimpin yang berpikir dan bertindak cendekiawan harus tahu dan bisa menyadari bahwa manusia adalah mahluk rasional dan sangat memperhitungkan untung rugi. Untuk itulah pemimpin harus bisa menggerakkan masyarakat tetap dengan diberikan insentif, agar bisa merangsang masyarakat untuk bisa ikut andil dalam setiap pembangunan.
Pemimpin yang berpikir dan bertindak cendekiawan dalam berinteraksi harus berorientasi pada tujuan-tujuan yang hendak dicapainya, tentu saja dalam interaksi ini semua unsur golongan dimasyarakat harus hadir, agar pesan pembangunan yang disampaikan bisa sampai pada akar rumput secara berkesinambungan. Sarananya bisa saja yang sekarang dilakukan oleh penguasa yaitu dengan mengadakan ruang public sebagai ajang untuk melakukan sharing atau brainstorming dengan masyarakat. Masyarakat yang diajak diruang public melakukan diskusi tentang pembangunan tentu saja harus mendapatkan keuntungan berupa materi dan imbalan sosial, budaya dan lain-lain.