Yayasan Mahkota Tambora 1815 Ungkap Sejarah Letusan Gunung Tambora
JAKARTA,-- Gunung Tambora yang terletak di Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat dengan sejarah letusan yang luas biasa, pada 2 abad lalu tepatnya pada tanggal 11 April 1815, dimana Gunung Tambora menghancurkan sepertiga tubuhnya sendiri.
Ada tiga kerajaan yang ada di Nusa Tenggara Barat (NTB), yaitu Kerajaan Sumbawa, Bima dan Dompu, namun ternyata ada tiga kerajaan lainnya, Kerajaan Tambora, Pekat dan Sanggar yang berada tepat dibawah kaki Gunung Tambora.
Sejarah mencatat, akibat letusan Tambora tersebut, populasi penduduk yang tersisa hanya 84.000 dari populasi awal 170.000, dan sekitar 37.000 diantaranya mengungsi dan pergi meninggalkan Sumbawa menuju Jawa, Bali, Makassar, Laut Seram dan berbagai daerah lainnya.
Sebagian besar pulau di Indonesia gelap karena abu, Pulau Bali, Lombok, dan Madura gelap selama tiga hari. Tambora benar â€" benar mengguncang dunia, dampak letusannya sampai di Eropah dan Amerika. Disana, pada tahun 1816 dikenal tahun tanpa musim panas dimana suhu udara turun sampai 2,5 derajat sehingga terjadi gagal panen dan harga pangan melambung tinggi.
Dahsyatnya Gunung Tambora ini juga tercatat dalam Syair Kerajaan Bima. Begini, Waktu subuh fajar pun merekah/ Diturunkan Allah bala celaka/ Sekalian orang habislah duka/ Bertangis "tangisan segala mereka”. (Syair Kerajaan Bima : 20).
Pada tahun 1812, gunung Tambora menjadi lebih aktif, dengan puncak letusannya terjadi pada bulan April tahun 1815. Besar letusan ini masuk ke dalam skala tujuh Volcanic Explosivity Index (VEI), dengan jumlah semburan tefrit sebesar 1.6 × 10 meter kubik.
Karakteristik letusannya termasuk letusan di lubang utama, aliran piroklastik, korban jiwa, kerusakan tanah dan lahan, tsunami dan runtuhnya kaldera.
Letusan ketiga ini mempengaruhi iklim global dalam waktu yang lama. Aktivitas Tambora setelah letusan tersebut baru berhenti pada tanggal 15 Juli 1815. Aktivitas selanjutnya kemudian terjadi pada bulan Agustus tahun 1819 dengan adanya letusan-letusan kecil dengan api dan bunyi gemuruh disertai gempa susulan yang dianggap sebagai bagian dari letusan tahun 1815.
Letusan ini masuk dalam skala kedua pada skala VEI. Sekitar tahun 1880 ± 30 tahun, Tambora kembali meletus, tetapi hanya di dalam kaldera. Letusan ini membuat aliran lava kecil dan ekstrusi kubah lava, yang kemudian membentuk kawah baru bernama Doro Api Toi di dalam kaldera.
Zollinger (1855) memperkirakan 10.000 orang meninggal karena aliran piroklastik. Di pulau Sumbawa, terdapat 38.000 kematian karena kelaparan, dan 10.000 lainnya karena penyakit dan kelaparan di pulau Lombok.
Petroeschevsky (1949) memperkirakan sekitar 48.000 dan 44.000 orang terbunuh di Sumbawa dan Lombok. Beberapa pengarang menggunakan figur Petroeschevsky, seperti Stothers (1984), yang menyatakan jumlah kematian sebesar 88.000 jiwa.
Tanguy (1998) mengklaim figur Petroeschevsky tidak dapat ditemukan dan berdasarkan referensi yang tidak dapat dilacak. Tanguy merevisi jumlah kematian berdasarkan dua sumber, sumber dari Zollinger, yang menghabiskan beberapa bulan di Sumbawa setelah letusan dan catatan Raffles.
Tanguy juga menunjukan bahwa terdapat banyak korban di Bali dan Jawa Timur karena penyakit dan kelaparan. Diperkirakan 11.000 meninggal karena pengaruh gunung berapi langsung dan 49.000 oleh penyakit epidemi dan kelaparan setelah letusan. Oppenheimer (2003) menyatakan jumlah kematian lebih dari 71.000 jiwa seperti yang terlihat di tabel dibawah.
Kisah inilah yang hendak diungkap oleh Yayasan Mahkota Tambora 1815 yang dianggap telah Mengukir Sejarah dan Peradaban Sebagai Warisan Dunia” pada acara diskusi hari Kamis, 1 Maret 2018, pukul 15.00 di Newseum, Jl. Veteran I No. 33 Jakarta. Direncanakan tampil sebagai pembicara antara lain Dr. Hermawan, Mas’ud Pane, dan Sultan Sumbawa, Muhamad Kaharuddin IV.
Menurut Jafar Anwar selaku panitia pelaksana diskusi, tema itu merupakan apresiasi sebagai warga masyarakat Sumbawa terhadap Gunung Tambora yang meletus terkahir pada 1815 dua abad silam”, tandasnya. Selasa (27/2/2018) terkininews.com
Kecuali itu, diskusi juga diharap bisa memberi aspirasi dalam memahami dan mengoptimalkan keberadaan Gunung Tambora untuk lebih banyak memberi manfaat bagi orang banyak. (Jacob Ereste/*)