Mabar Butuh Pemimpin yang Hobi Mendengar
Manggarai Barat, -- Tahun 2019 yang dikenal sebagai tahun politik baru saja berlalu. Hiruk pikuk politik pada saat itu, baik Pilpres maupun Pileg, telah menguras begitu banyak tenaga dan pikiran. Bukan saja mereka yang berkompetisi tapi juga para pendukung mereka, juga kita sebagai pemilih.
Ya, kini kita sudah masuk di tahun 2020. Pada tahun ini negara kita, Indonesia, menyelenggarakan pesta politik: Pilkada Serentak. Ini merupakan hajatan politik yang paling besar sejak negara ini berdiri. Sebab hajat ini diikuti oleh begitu banyak daerah (propinsi dan kabupaten/kota) di seluruh Indonesia.
Sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), Pilkada Serentak tahun ini akan dilaksanakan pada 23 September. Pilkada kali ini sendiri diikuti oleh 270 daerah yang terdiri dari 9 propinsi, 224 kabupaten dan 37 kota. Awalnya hanya bakal diikuti oleh 269 daerah, namun karena Pilkada Serentak Kota Makasar tahun 2018 silam suara calon tunggal lebih besar dari suara kotak kosong, akhirnya Kota Makasar kembali ikut Pilkada Serentak tahun ini.
Pilkada kali ini merupakan Pilkada gelombang ke empat dari rangkaian Pilkada Serentak sejak tahun 2015 (yang diikuti 269 daerah), 2017 (yang diikuti oleh 101 daerah), hingga 2018 lalu (yang diikuti oleh 171 daerah).
Sebagaimana yang dirilis oleh Kementrian Dalam Negeri (2020) juga KPU (2020), sembilan (9) propinsi yang melaksanakan Pilkada Serentak tahun ini adalah Sumatra Barat, Jambi, Bengkulu, Kepulauan Riau, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Utara, Sulawesi Utara dan Sulawesi Tengah.
Di NTT sendiri, Manggarai Barat atau Mabar merupakan salah satu dari 9 daerah/kota di NTT yang pada tahun ini melaksanakan Pilkada Serentak. Hal ini pertanda menjelang berakhirnya masa jabatan pasangan yang kini masih berkuasa atau menjadi pemenang pada Pilkada 2015 silam di Mabar.
Adapun sembilan (9) daerah (Kabupaten/Kota) di NTT yang akan melaksanakan Pilkada Serentak yang dimaksud adalah Sumba Barat, Sumba Timur, Manggarai Barat, Manggarai, Ngada, Belu, Timor Tengah Utara, Sabu Raijua dan Malaka.
Dari momentum Pilkada ke Pilkada, warga atau pemilih tentu memiliki selera politiknya masing-masing. Dari selera yang beragam itu kelak menentukan keragaman pilihan. Sehingga bagi mereka yang turut menjadi peserta bakal memperoleh dua kemungkinan: kalah atau menang Pilkada.
Dalam konteks Mabar, Pilkada kali ini diharapkan akan menjadi momentum seleksi bagi para pemimpin yang tepat bagi Mabar. Sehingga proses pembangunan dari berbagai aspeknya bisa dilanjutkan dengan baik dan semakin terintegrasi juga menyeluruh atau merata bagi semua.
Secara sederhana, memimpin bisa dimaknai dengan merasakan apa yang dirasakan warga yang dipimpin atau yang akan dipimpin. Itulah yang disebut juga dengan empati dan kepedulian sosial. Ketika seseorang atau pasangan calon yang berkompetisi menang namun lupa pada aspek ini, maka ini pertanda bakal kehilangan autentitasnya sebagai pemimpin.
Sungguh, era ini adalah era dimana warga Mabar butuh pemimpin semacam itu. Yaitu pemimpin yang mau mendengar. Ya, kuncinya adalah hobi mendengar. Telinganya dipasang begitu lebar untuk mendengar keluhan, rintihan dan harapan warga Mabar. Bukan saja warga di ibukota (Labuan Bajo), tapi juga warga di kampung-kampung seperti Cereng, Leheng, Ceremba, Naga, Mbala, Siru, Nanga Na'e, dan sebagainya.
Telinganya tidak boleh tertutup karena "bisingnya" suara warga Mabar. Telinganya mesti dibuka lebar untuk mendengar secara seksama berbagai masukan, saran dan kritik dari berbagai sumber, termasuk dari warga yang dipimpin atau yang akan dipimpinnya.
Ia sosok yang senang bahkan rindu dengan kritikan warganya, bukan sibuk menanti bahkan meminta pujian dari warganya. Ia mendermakan waktunya untuk mendengar secara tulus apa yang benar-benar menjadi keinginan warganya yang bisa jadi kerap diabaikan dalam berbagai momentum pesta politik sebelumnya.
Agar pemimpin memiliki kemampuan mendengar dan solutif dalam mendengar, maka pemimpin Mabar ke depan mesti sosok yang punya konektifitas yang baik dengan berbagai elemen strategis pembangunan. Baik di tingkat lokal maupun nasional. Bahkan dengan warga Mabar di tingkat akar rumput.
Mabar ke depan tak bisa dibangun menggunakan pola lama lagi. Ia butuh pola baru yang tentu lebih kreatif, inovatif dan transformatif. Pasangan yang kekinian dan konektif dengan pola kehidupan sosial ala milenial bakal mendapatkan tempat pada relung hati warga Mabar. Kuncinya, sekali lagi, adalah mendengar.
Dalam konteks Pilkada Mabar 2020 pasangan perpaduan tua-muda, atau minimal salah satu diantara sepasangan calon berusia muda alias milenial masih sangat relevan. Bagi partai politik (Parpol) yang sukses memasang pasangan semacam ini bakal mendapat perhatian serius bahkan dukungan gratis dari berbagai kalangan lintas profesi, usia, latar sosial, asal dan jenis kelamin.
Secara sosiologis sekaligus demografis, dukungan semacam ini juga karena adanya trend perpaduan rasional semacam itu. Hal ini bisa disaksikan di berbagai daerah di saat Pilkada Serentak tahap pertama, kedua dan ketiga silam. Tapi perlu diingat, kuncinya adalah banyak mendengar dalam maknanya yang lebih subtantif. Yaitu, bukan saja mendengar warga di saat kampanye, tapi juga di saat kelak menjabat, mesti ingat mandat atau janji-janji politik; bukan sekadar labelitas sebagai pemenang.
Diantara trend pemenang Pilkada dalam berbagai Pilkada Serentak sebelumnya di beberapa daerah, muncul pasangan milenial atau kolaborasi antar tokoh berpengalaman (tua) dan tokoh muda. Agak unik memang, namun fenomena semacam itu bakal menjadi pemantik bagi dinamika baru yang lebih asyik bagi kompetisi politik di Mabar 23 September 2020 nanti.
Saya sedikit berkelakar bahwa pemilih milenial yang jumlahnya mencapai 40% dari jumlah pemilih di Mabar bakal mendukung dan memenangkan pasangan calon yang muda atau bermental muda. Tak mesti semuanya muda, tapi minimal salah satu diantara calon ada yang seusia dengan mereka atau pemilih, yang paham dunia mereka dan mengerti apa selera juga masalah utama kaum milenial itu sendiri.
Pertanyaannya, adakah pasangan semacam itu di Pilkada Mabar tahun ini? Siapakah pasangan pemenang Pilkada Mabar yang dimaksud? Berapa saja usia pasangan ini? Siapa dan bagaimana pemetaan basis massa atau pendukung mereka? Mereka dicalonkan oleh Parpol atau didukung Parpol apa saja? Atau kalau mereka menempuh jalur independen, siapa kah mereka itu?
Pertanyaan seperti itu bakal menjadi pemantik lanjutan bagi kita semua dalam membangun dinamika politik Mabar yang akhir-akhir ini semakin dinamis, hangat dan seksi juga ramai. Ditambah lagi fenomena bongkar pasang atau gonta-ganti bakal calon pasangan beberapa waktu terakhir, dinamika politik Mabar pun bakal semakin asyik dan seru untuk ditelisik.
Di atas segalanya, mari tingkatkan jenjang dan kualitas diri kita sebagai pemilih. Yang bukan sekadar "ngasal" memilih, tapi pemilih yang kritis juga rasional. Bukan memilih karena uang bayaran, tapi karena percaya bahwa para pasangan mampu menunaikan kewajibannya di saat terpilih sebagai kepala daerah (Bupati/Wakil Bupati) kelak.
Sungguh, penentu hadirnya bahkan menangnya pemimpin yang hobi mendengar keluhan, rintihan, harapan bahkan masukan, saran dan kritik warga Mabar adalah kita semua, yaitu warga Mabar atau pemilih yang ingin menghadirkan perubahan dan perbaikan Mabar dalam segala aspeknya. Kalau kita serius, sungguh-sungguh dan berperan, saya optimis dan percaya kita bisa menghadirkan pemimpin semacam itu. (*)
Oleh : Syamsudin Kadir
Penulis buku "Mencintai Politik" dan "Selamat Datang Di Manggarai Barat"