Konsolidasi Ideologi dan Pengkaderan HMI
KONSOLIDASI IDEOLOGI DAN PERKADERAN HMI
( OLEH, HENDRA SAJIM )
Masa awal tahun 1950-an merupakan massa-massa konsolidasi organisasi. Hal ini bukan saja karena perjuangan fisik melawan agresi militer belanda telah usai tetapi juga HMI menyesuaikan diri dengan memindahkan kembali ibukota dari ke Jakarta. Momentum konsolidasi HMI ditandai dengan akan diadakannya kongres sebagai kewajiban organisatoris yakni kongres II akhir tahun 1951. Menurut Hasanuddin bahwa setelah kongres, gerak organisasi berjalan relatif baik dan hampir tidak ada permasalahan internal yang menghambat roda organisasi sehingga HMI menjadi semakin solid. Sebelumnya pembinaan dan konsolidasi organisasi mengalami kemacetan karena situasi perang kemerdekaan, pengurus HMI terlibat dalam berbagai front sehingga tidak memungkinkan untuk melakukan rapat dan kegiatan HMI.
Selama tiga belas tahun HMI mengadakan konsolidasi organisasi, sehingga memungkinkan untuk tampil sebagai organisasi kader dan perjuangan bangsa dalam mengisi kemerdekaan. Pola pembinaan anggota yang diarahkan menjadi sarjana muslim yang memiliki kemampuan ilmu pengetahuan untuk menjadi kader bangsa. Selain upaya pembinaan terhadap nilai-nilai transformasi keislaman juga mulai membangun rasa nasionalisme kebangsaan. Strategi yang digunakan adalah rasa kecintaan organisasi sebagai wahana perkaderan menuju tercapainya bangsa yang berkemanusiaan dan bermartabat. Pola pembentukan pribadi melalui latihan dan perkaderan sebagai usaha mencetak kader bangsa disegala bidang kehidupan dilakukan. Faktor motivasi anggota masuk HMI dilakukan sejak awal rekruitmen keanggotaan agar tidak mengalami penyimpangan. Beberapa materi inti pembinaan meliputi: Ke-Islaman, kebangsaan, nasionalisme, kebanggaan terhadap HMI atau ke-HMI-an, kemasyarakatan serta penyaluran bakat dan minat serta proses perkaderan lainnya.
Lahirnya HMI sebagai organisasi kader, Dari berbagai sumber dijelaskan sejak kapan HMI memulai dengan model perkaderan yang modern. Menurut sumber-sumber HMI diketahui sejak diselenggarakannya International Center For Advance Study and Training, di india pada pertengahan juli 1959, oleh World Association Of Youth (WAY) yang diikuti oleh berbagai Negara, termasuk Indonesia yang diwakili oleh Aisyah Amini dan Soedan yang keduanya mewakili HMI meskipun Soedan mewakili GPII. Dalam pelatihan bagi calon-calon pemimpin pemuda yang dikenal dengan ALOKA itu merupakan salah satu pelatihan UNESCO. Dua peserta Indonesia yang mengikuti ALOKA terinspirasi untuk mengembangkan model pelatihan atau kaderisasi bagi HMI, yang pertama kali dinamakan dengan pendidikan Dasar.
Namun pembicaraan awal masalah perkaderan HMI dimulai pada konferensi HMI da Taruna Giri, Puncak Bogor, yang diadakan akhir juli 1959. Konferensi HMI waktu itu melahirkan konsep pendidikan kader HMI yang dinamakan pendidikan Dasar. Pada tingkat nasional ditetapkan untuk mengadakan training centre, workshop, kursus menulis dan sebagainya. Sedangkan perkaderan ditingkat cabang HMI difokuskan pada kegiatan-kegiatan ilmiah seperti ceramah, diskusi-diskusi seminar, symposium serta penilitian (riset). Menurut sejatahwan HMI, Agussalim Sitompul bahwa konsep pendidikan dasar hasil konferensi Taruna Giri itulah yang dikembangkan sehingga terbentuk pola perkaderan HMI sampai sekarang ini.
Kaderisasi adalah jantung dalam organisasi HMI, itu sebabnya seni perkaderan dalam HMI membutuhkan suatu kedisiplinan ilmu pengetahuan yang matang sehingga mampu membentuk pola perkaderan dalam Basic Treaning. Oleh karena itu, pandangan saya kedepan terhadap anggota-anggota HMI, jangan terlalu banyak bergantung pada senior, lakukanlah sesuatu dengan kemandirian, kuasai ilmu dengan baik dan berperanlah disegala bidang demi menjaga eksistensi kaders sebagaimana yang dicita-citakan oleh Ayahanda Lafran Pane.