Energi Terbarukan di Kepulauan: Sebuah Pembelajaran untuk diterapkan di Indonesia
Faizal Rianto
Program Studi Administrasi Publik (Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Raja Haji)
faizalrianto@gmail.com
Meskipun disertai dengan beragam tantangan, rasio elektrifikasi Indonesia meningkat dengan signifikan. Pada tahun 2015, rasio elektrifikasi berada pada angka 88,30%, kemudian meningkat menjadi 91,16% pada tahun 2016 (DJK, 2017) dan sesuai dengan rancangan Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional Tahun 2015-2034 (Rencana Ketenagalistrikan Nasional 2015-2034), Indonesia berencana untuk mencapai rasio elektrifikasi sebesar 100 % pada tahun 2024 (ESDM, 2015). Namun begitu, urangnya akses listrik adalah fenomena yang endemik di beberapa wilayah Indonesia. Seperti misalnya di daerah-daerah di kawasan timur Indonesia seperti Nusa Tenggara Timur, Papua Barat, Nusa Tenggara Barat, dan Sulawesi Tenggara (74,47%). Dari 34 provinsi, hanya Bangka Belitung, Jawa Barat, dan Jakarta yang memiliki rasio elektrifikasi tertinggi, yakni di atas 99% pada tahun 2016 (DJK, 2017). Oleh karena wilayah geografi Indonesia adalah berbentuk kepulauan, maka, untuk mencapai rasio elektrifikasi sebesar 100%, diperlukan upaya-upaya yang lebih keras untuk menyediakan listrik terutama ke daerah-daerah wilayah kepulauan yang berpenduduk.
Tentu, menyediakan listrik ke pulau-pulau dan wilayah kepulauan dengan memanfaatkan energi terbarukan merupakan tantangan, tetapi pemanfaatan tersebut bukanlah hal yang baru. Studi kasus dan literatur telah dilakukan dan banyak membahas mengenai pemanfaatan energi baru terbarukan. Teknologi hybrid (Kahar & Hantoro, 2016; Senjyu, Nakaji, Uezato, & Funabashi, 2005) dan model implementasi juga telah dipelajari dan dikembangkan untuk meningkatkan penetrasi energi terbarukan (Duić, KrajaÄi, & Carvalho, 2008) dan meskipun terdapat hambatan-hambatan (Bunker , Doig, Hawley, & Morris, 2015; Ciriminna, Pagliaro, Meneguzzo, & Pecoraino, 2016; Lidula, Mithulananthan, Ongsakul, Widjaya, & Henson, 2007), tentu penting bagi Indonesia untuk memperhatikan bahwa inisiatif energi terbarukan tidak hanya memberikan hasil yang positif secara sosial, ekonomi, dan lingkungan, tetapi juga layak dan dapat diterapkan (Brown et al., 2018; Mandefro, 2017).
Sumber Daya dan Keseimbangan Energi Indonesia
Untuk memenuhi kebutuhan energi nasional, pasokan energi primer nasional Indonesia didominasi oleh energi fosil (batubara, minyak, dan gas bumi). Dalma hal ini, konsumsi batubara adalah yang tertinggi karena harganya yang rendah sehingga menyebabkan batubara digunakan secara luas di pembangkit listrik dan sektor industri (BPPT, 2017). Pada tahun 2015, konsumsi energi Indonesia sebesar 1,14 miliar barel setara minyak. Minyak mentah dan produknya (542 MBOE ), batu bara (364 MBOE), dan gas alam (279 MBOE) adalah sumber pasokan energi primer dan menyumbang 74,6% (95,4% jika biomassa tidak diikutsertakan) dari pasokan energi. Sumber daya energi terbarukan seperti biomassa (309 MBOE), tenaga air (35 MBOE), panas bumi (16 MBOE), dan biofuel (5 MBOE) menyumbang 25,4% dari pasokan energi primer. Namun, jika biomassa tidak diikutsertakan, maka, jumlah kontribusi sumber daya terbarukan turun drastis menjadi hanya 4,6%. Penggunaan energi Indonesia terhadap total energi primer (tidak termasuk biomassa) adalah: pada sektor transportasi (40,63%) diikuti oleh sektor industri (34,97%), sektor rumah tangga (14,62%), penggunaan komersial (5,44%), dan sektor lainnya (4,34%). Dari konsumsi energi tahun 2015, bahan bakar merupakan sumber energi yang paling banyak dikonsumsi (ESDM, 2017). Penting juga untuk dicatat bahwa penggunaan biomassa tradisional lazim untuk keperluan memasak dasar dan termal di antara jutaan rumah tangga pedesaan di Indonesia (ADB, 2016b).
Sumber energi fosil banyak digunakan di Indonesia dan dijadikan sebagai sumber energi utama. Namun, cadangan minyak semakin menipis dan diperkirakan dalam 11 tahun cadangan terbukti (proven reserved) minyak Indonesia akan habis (BPPT, 2017). Pertumbuhan produksi minyak total Indonesia pada tahun 2005-2015 telah mengalami penurunan menjadi rata-rata -2,6% per-tahun sementara total cadangan terbukti minyak adalah 3,6 miliar barel pada tahun 2015, turun dari 4,4 miliar barel pada tahun 2006 (British Petroleum, 2017 ). Produksi minyak mentah juga mengalami penurunan dari 517 juta barel pada 2010 menjadi 288 juta barel pada 2014, karena ketergantungan pada ladang minyak yang sudah tua dan kurangnya investasi dalam eksplorasi minyak baru. Oleh karena itu, impor minyak meningkat. Tercatat, antara tahun 2000 dan 2014, impor minyak mentah meningkat dari 79 juta barel menjadi 122 juta barel, sementara impor produk olahan meningkat dari 91 juta barel menjadi 209 juta barel (IRENA, 2015). Selain itu, perubahan kebijakan dan harga minyak yang rendah cenderung menurunkan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi migas nasional yang berdampak pada penurunan cadangan. Selain minyak, gas alam akan habis dalam 36 tahun di bawah tingkat cadangan dan produksi saat ini, sedangkan batubara akan habis dalam 70 tahun jika tidak ada eksplorasi untuk cadangan baru (BPPT, 2017). Selanjutnya, untuk alasan ketahanan energi, Indonesia memilih untuk membatasi produksi batu bara menjadi hanya 400 juta metrik ton pada tahun 2019, di mana 60% di antaranya akan digunakan di dalam negeri untuk merangsang permintaan domestik (ESDM, 2015b).
Sebaliknya, sebagian besar sumber energi terbarukan Indonesia belum dimanfaatkan secara maksimal. Panas bumi, hidro, mini mikro hidro, biomassa, energi matahari, energi angin, energi gelombang dan sumber lainnya melimpah (BPPT, 2017). energi terbarukan, namun hanya mencapai sekitar 4% dari total energi primer di Indonesia (DEN, 2014).
Sumber daya terbarukan yang kurang dimanfaatkan cukup signifikan jumlahnya jika dibandingkan dengan kapasitas terpasang, dan jika dimanfaatkan secara maksimal, dapat memainkan peran yang lebih besar dalam pembangunan Indonesia. Peran energi terbarukan di Provinsi Papua, misalnya, akan menjadi penting mengingat seluruh pasokan bahan bakar dan bahan bakar gas (LPG) ke provinsi ini berasal dari luar Papua. Bahan bakar diperoleh dari depo utama di Maluku, dan LPG masih bergantung pada pasokan dari wilayah Jawa. Keberadaan kilang Kasim di Sorong tidak mampu memenuhi kebutuhan Provinsi Papua, dan kilang tersebut hanya memproduksi BBM. Di sisi lain, penggunaan sumber energi terbarukan bersifat lokal dan tidak ekonomis jika diangkut antar daerah. Kondisi ini menyebabkan pengembangan sumber energi terbarukan sangat sesuai untuk peningkatan pemanfaatan energi di daerah terpencil dan terisolir (WWF Indonesia, 2015).
Untuk mengatasi konsumsi energi yang tinggi dan untuk menjamin ketahanan energi di masa depan, Indonesia menerapkan kebijakan energi nasional untuk menghemat energi di sisi permintaan dan diversifikasi sumber energi di sisi pasokan. Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2006 (Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2006) mengamanatkan bahwa bauran energi primer Indonesia yang optimal pada tahun 2025 dengan peran masing-masing jenis energi dalam konsumsi energi nasional adalah: minyak kurang dari 20%, gas akan lebih dari 30%, batubara akan kurang dari 33%, dan energi terbarukan akan menjadi 17% pada bauran energi primer. Namun, revisi Kebijakan Energi Nasional tahun 2014 melalui Peraturan Presiden Nomor 79 Tahun 2014 Tentang Kebijakan Energi Nasional lebih menekankan pada diversifikasi, kelestarian lingkungan, dan pemanfaatan sumber daya energi dalam negeri secara maksimal. Ini juga menetapkan target yang lebih tinggi untuk memanfaatkan energi baru dan terbarukan dalam bauran energi nasional; minimal 23% dan 31% masing-masing pada tahun 2025 dan 2050, sekaligus menurunkan penggunaan energi tak terbarukan (Tharakan, 2015). Sumber daya energi terbarukan, sayangnya, belum dimanfaatkan secara maksimal dan masih memerlukan upaya percepatan pemanfaatannya untuk memaksimalkan kontribusi energi non-fosil dalam bauran energi nasional (DEN, 2014).
Namun demikian, pergeseran kebijakan energi ini memberikan peluang untuk meningkatkan pemanfaatan potensi energi terbarukan Indonesia. Peningkatan pangsa energi terbarukan yang ditargetkan dalam kebijakan energi yang direvisi menunjukkan tanda komitmen untuk lebih memanfaatkan energi terbarukan yang bersih. Komitmen tersebut juga menunjukkan bahwa negara kepulauan bergerak menuju energi hijau di masa depan dengan bertujuan untuk keberlanjutan dan mengurangi ketergantungan dari bahan bakar fosil yang tidak terbarukan.
Energi Terbarukan di Pulau-Pulau Kecil
Sebagian besar pulau-pulau kecil bergantung pada impor bahan bakar fosil untuk kebutuhan energinya, terutama untuk transportasi dan produksi listrik (Dornan, 2015; ETI, 2015; IRENA, 2016; Jensen, 2000). Karena ukurannya yang kecil dan lokasi banyak pulau yang terisolasi, biaya infrastruktur seperti energi naik hingga tiga hingga empat kali lipat dibandingkan dengan wilayah daratan. Tingginya harga bahan bakar fosil ditambah dengan terbatasnya permintaan meningkatkan biaya per unit produksi untuk produksi listrik konvensional. Hal ini menciptakan situasi kompetitif untuk teknologi energi terbarukan di pulau-pulau (Jensen, 2000). Selain itu, sebagian besar pulau diberkahi dengan sumber daya terbarukan, terutama matahari, angin, hidro, panas bumi, ombak, pasang surut, dan biomassa di beberapa pulau. Oleh karena itu, potensi penggunaan energi terbarukan di pulau-pulau sangat besar (Garcia & Meisen, 2008; Jensen, 2000; Maldonado, 2017).
Teknologi energi terbarukan seperti pembangkit listrik hibrida yang terdiri dari generator diesel dan sumber energi terbarukan juga diharapkan dapat mengurangi konsumsi bahan bakar fosil di pulau-pulau untuk kebutuhan listrik (Kahar & Hantoro, 2016). Sebuah studi bahkan mengusulkan sistem catu daya baru yang menggunakan energi terbarukan di pulau-pulau kecil yang terisolasi. Sistem ini terdiri dari generator turbin angin, generator diesel, sel bahan bakar, dan aqua elektroliser. Elektroliser aqua digunakan untuk menyerap daya keluaran yang berfluktuasi dengan cepat dari generator turbin angin dan menghasilkan hidrogen. Hidrogen yang dihasilkan disimpan dalam tangki hidrogen dan digunakan sebagai bahan bakar untuk sel bahan bakar. Jumlah daya keluaran dari generator turbin angin, generator diesel, dan sel bahan bakar dipasok untuk memenuhi permintaan beban. Sistem yang diusulkan tidak memerlukan baterai dan dengan demikian meningkatkan efisiensi sistem (Senjyu et al., 2005). Energi terbarukan di luar jaringan (out of grid), termasuk sistem yang berdiri sendiri dan jaringan mini (mini grid), juga dapat menawarkan peluang unik untuk memperluas layanan akses energi modern ke pulau-pulau. Sifat terdistribusi dari sistem ini memungkinkan sistem ini untuk disesuaikan dengan kondisi lokal, memanfaatkan sumber daya terbarukan yang tersedia, memberikan layanan energi yang beragam dan memanfaatkan kapasitas lokal untuk memastikan keberlanjutan jangka panjang (IRENA, 2017).
Banyak pulau kecil di setiap wilayah di dunia menggunakan atau mengusulkan untuk menggunakan energi terbarukan seperti misalnya: Azores dan Kepulauan Canary di Atlantik Utara, Gotland dan Samsoe di Baltik, Sardinia dan Sisilia di Mediterania, Mauritius dan Reunion di Samudra Hindia, Fiji dan pulau-pulau Hawaii di Pasifik, serta Dominika dan pulau-pulau Guadeloupe di Karibia (Garcia & Meisen, 2008). Pulau Sumba melalui inisiatif Pulau Ikonik Sumba di Indonesia (ADB, 2016a; Hivos, 2015; Lomi, 2016), Galapagos (Dove, 2014), Pulau Reunion (Selosse, Garabedian, Ricci, & Maïzi, 2018), dan pulau-pulau terpencil di Sisilia juga beberapa contohnya.
Pulau-pulau kecil dapat melakukan transisi ke energi terbarukan. Pulau-pulau, seperti Pulau Samsoe di Denmark, menghasilkan 100% konsumsi listriknya dari energi terbarukan, sementara beberapa pulau menghasilkan 75% dari total pasokan pemanas dari energi terbarukan, seperti Lolland dan Falster. Pulau-pulau lain telah berkomitmen pada inisiatif untuk menghasilkan energi dari energi terbarukan seperti 79% di Fiji dan 48% di Dominika. Secara total, lebih dari 30 pulau kecil berpenghuni memiliki beberapa sumber produksi listrik dari energi terbarukan. Di Denmark, beberapa pulau berpartisipasi untuk mendorong Denmark menuju ke tingkat pemanfaatan energi terbarukan yang signifikan, bahkan hingga kapasitas instalasi energi terbarukan sebesar 100%. Tujuan seperti itu hanya dapat mendorong masyarakat lokal tidak hanya untuk melakukan transisi tetapi juga untuk membuktikan kepada dunia bahwa pulau-pulau kecil dapat mandiri dari bahan bakar fosil. Beberapa pulau yang terkadang memiliki surplus produksi listrik justru menjual surplus tersebut kembali ke daratan melalui kabel bawah laut, menghasilkan keuntungan dan meningkatkan manfaat dari kapasitas listrik terpasangnya (Garcia & Meisen, 2008).
Memang, pulau dan wilayah kepulauan tidak boleh hanya dilihat sebagai sebuah beban dalam anggaran atau sebagai sebuah kerugian. Pulau dan wilayah kepulauan seharusnya harus dilihat sebagai sebuah kemungkinan. Pergeseran dramatis ke energi terbarukan dalam skala besar di wilayah benua atau wilayah daratan, telihat tidak realistis dalam jangka pendek dan menengah dalam hal teknologi, pembiayaan, dan organisasi. Namun, akan sangat menarik untuk menunjukkan kemungkinan bahwa komunitas yang lebih kecil dapat mendasarkan seluruh pasokan energinya pada sumber energi terbarukan. Wilayah kepulauan bisa lebih murah, lebih cepat, dan lebih mudah untuk mencapai bauran energi terbarukan yang lebih tinggi jika dibandingkan pada wilayah daratan yang memiliki populasi jauh yang lebih besar (Jensen, 2000).
Disclaimer:
Sebagian atau keseluruhan tulisan ini telah terbit di Jurnal Jurnal Rekayasa Bahan Alam dan Energi Terbarukan (https://rbaet.ub.ac.id/index.php/rbaet/article/view/70)