Pemeriksaan Gubernur Kepri dalam Kasus Rekrutmen Honorer Fiktif dari Sudut Pandang Manajemen Kinerja

Diterbitkan oleh Redaksi pada Senin, 18 Desember 2023 08:02 WIB dengan kategori Opini Suara Mahasiswa dan sudah 327 kali ditampilkan

Toufik Bin Ro’i Yasin

Mahasiswa STEBI Batam

 

OPINI – Berita mengenai pemeriksaan Gubernur Kepulauan Riau (Kepri) Ansar Ahmad sebagai saksi dalam kasus dugaan perekrutan tenaga honorer fiktif di Sekretariat Dewan (Setwan) DPRD Kepri telah menjadi sorotan publik. Dalam konteks manajemen kinerja, kita perlu mengevaluasi bagaimana pemerintahan daerah mengelola rekrutmen, pengawasan, dan implementasi kebijakan terkait pegawai honorer. Artikel ini akan mencoba menyajikan opini kritik terhadap berita tersebut dengan fokus pada sudut pandang manajemen kinerja.

  1. Transparansi dalam Pengelolaan Kepegawaian

Manajemen kinerja yang baik membutuhkan transparansi dalam pengelolaan kepegawaian. Dalam konteks kasus ini, kejelasan mengenai proses rekrutmen tenaga honorer menjadi krusial. Pemerintahan daerah, termasuk Gubernur Ansar Ahmad, diharapkan mampu menyajikan informasi yang jelas dan mudah diakses terkait kebijakan rekrutmen. Penggunaan surat edaran dalam konteks ini seharusnya dapat memberikan panduan yang terbuka bagi semua pihak yang terlibat.

Namun, pemeriksaan terhadap Ansar Ahmad memunculkan pertanyaan tentang efektivitas dan transparansi proses rekrutmen tersebut. Manajemen kinerja yang optimal memerlukan proses rekrutmen yang terbuka, adil, dan dapat dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu, penting bagi pemerintahan daerah untuk mengevaluasi kembali prosedur rekrutmen yang digunakan, memastikan adanya pengawasan yang ketat, serta memperjelas kriteria dan syarat bagi calon pegawai honorer.

  1. Pengawasan Terhadap Pelaksanaan Kebijakan

Manajemen kinerja yang efektif juga memerlukan pengawasan yang cermat terhadap pelaksanaan kebijakan. Dalam kasus ini, Gubernur Ansar Ahmad dipanggil untuk memberikan keterangan mengenai surat edaran terkait perekrutan honorer. Hal ini mencerminkan bahwa pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan belum tentu berjalan dengan optimal.

Pertanyaan mendasar muncul: sejauh mana pemerintahan daerah, yang dipimpin oleh Gubernur Ansar Ahmad, telah melibatkan diri dalam memastikan bahwa surat edaran tersebut diterapkan dengan benar? Pengawasan yang efektif bukan hanya terbatas pada pembuatan kebijakan, tetapi juga pada tahap implementasinya. Pemerintahan daerah harus memiliki sistem pengawasan internal yang kuat untuk memastikan bahwa kebijakan yang dikeluarkan dijalankan sesuai dengan tujuan dan norma yang telah ditetapkan.

  1. Sosialisasi Kebijakan dan Peran Pemerintah Daerah

Manajemen kinerja mencakup aspek sosialisasi kebijakan kepada seluruh pemangku kepentingan terkait. Dalam konteks rekrutmen pegawai honorer, penting bagi pemerintahan daerah untuk secara efektif menyosialisasikan kebijakan tersebut kepada semua pihak yang terlibat, termasuk DPRD, pihak Pemprov, dan instansi terkait lainnya.

Dari keterangan Gubernur Ansar Ahmad, terlihat bahwa pemeriksaan dilakukan dalam suasana santai sambil ngopi-ngopi dan makan malam. Meskipun suasana tersebut dapat menciptakan atmosfer yang lebih bersahabat, kita perlu menilai sejauh mana proses pemeriksaan tersebut sesuai dengan tuntutan profesionalitas. Pemeriksaan seharusnya dilakukan secara serius dan fokus pada substansi permasalahan.

 

Selain itu, sosialisasi kebijakan harus mencakup pemahaman yang mendalam terkait tanggung jawab masing-masing pihak dalam implementasi kebijakan tersebut. Pemerintahan daerah, termasuk Gubernur Ansar Ahmad, harus memastikan bahwa informasi yang disampaikan kepada pihak terkait mencakup seluruh detail yang diperlukan, sehingga dapat menghindari interpretasi yang keliru atau pemahaman yang tidak memadai.

  1. Evaluasi Kinerja dan Akuntabilitas

Manajemen kinerja yang baik mencakup siklus evaluasi kinerja dan akuntabilitas. Dalam kasus pemeriksaan Gubernur Ansar Ahmad, kita perlu menilai sejauh mana pemerintahan daerah telah melakukan evaluasi kinerja terkait rekrutmen tenaga honorer dan sejauh mana akuntabilitas dijalankan.

Evaluasi kinerja tidak hanya mencakup hasil akhir dari rekrutmen, tetapi juga proses yang melibatkan pengelolaan kebijakan, implementasi, dan pengawasan. Pemerintahan daerah harus secara terbuka mengevaluasi proses rekrutmen yang telah dilakukan dan memastikan bahwa pelajaran berharga diambil dari setiap kesalahan atau kekurangan yang teridentifikasi.

 

Akuntabilitas, dalam konteks ini, mencakup kesiapan untuk bertanggung jawab atas kebijakan yang diambil dan proses yang dilakukan. Jika terdapat kesalahan atau kekurangan dalam rekrutmen tenaga honorer, pemerintahan daerah harus bersedia mengakui dan memperbaikinya. Ini menciptakan budaya akuntabilitas yang mendukung manajemen kinerja yang berkelanjutan.

 

Dalam perspektif manajemen kinerja, kasus pemeriksaan Gubernur Kepri Ansar Ahmad dalam dugaan perekrutan tenaga honorer fiktif menimbulkan pertanyaan penting mengenai transparansi, pengawasan, sosialisasi kebijakan, evaluasi kinerja, dan akuntabilitas pemerintahan daerah. Keberhasilan manajemen kinerja tidak hanya diukur dari hasil akhir, tetapi juga dari integritas dan efisiensi proses yang dilakukan.

Pemerintahan daerah harus memandang kasus ini sebagai peluang untuk melakukan introspeksi dan perbaikan dalam manajemen kepegawaian dan kebijakan rekrutmen. Penting untuk memastikan bahwa kebijakan yang dikeluarkan dapat dijalankan dengan baik dan memberikan manfaat maksimal bagi masyarakat.

Semua pihak yang terlibat dalam proses ini, termasuk Gubernur Ansar Ahmad, perlu berkomitmen untuk memperbaiki dan mengoptimalkan manajemen kinerja di tingkat daerah. Dengan demikian, pemerintahan daerah dapat membangun kepercayaan masyarakat dan menciptakan lingkungan yang mendukung pertumbuhan dan pembangunan yang berkelanjutan.

Berdasarkan berita: https://www.cnnindonesia.com/nasional/20231217201257-12-1038435/gubernur-kepri-diperiksa-jadi-saksi-kasus-rekrut-honorer-fiktif