Demokrasi dan Kontroversi: Refleksi Kritis atas Pemilihan Presiden Indonesia 2024
Candra
Mahasiswa STEBI Batam
Pemilihan Presiden di Indonesia, seperti di negara-negara lain, merupakan momen penting yang berlangsung setiap lima tahun sekali. Antusiasme masyarakat Indonesia terkait pemilihan presiden sangat besar, dengan harapan bahwa pemimpin terpilih dapat membangun negara yang maju, berkualitas, dan bebas dari kemiskinan. Proses pemilihan ini melibatkan serangkaian kegiatan, termasuk debat capres yang menjadi ajang para kandidat untuk beradu argumen dan memenangkan dukungan masyarakat.
Debat pertama calon presiden dan wakil presiden untuk pemilihan tahun 2024 telah berlangsung pada 12 Desember 2023, di mana para kandidat menyampaikan visi dan misi mereka untuk masa kepemimpinan mendatang. Pada awalnya, Anies Baswedan menyoroti bahwa Indonesia saat ini lebih merupakan negara kekuasaan daripada negara hukum. Prabowo Subianto menegaskan pentingnya hukum dan HAM, sambil menyatakan bahwa Indonesia masih aman dan damai. Sementara itu, Ganjar Pranowo menyoroti perlunya menjaga demokrasi, mengungkapkan keprihatinan terhadap perlakuan tidak adil terhadap mereka yang menyampaikan pendapat.
Namun, debat tidak hanya membahas isu-isu umum, tetapi juga mencuatkan kontroversi terkait HAM. Ganjar Pranowo mencatat 12 kasus HAM berat, termasuk yang melibatkan Prabowo Subianto. Prabowo, dalam pembelaannya, menyatakan bahwa isu tersebut seharusnya tidak dipolitisasi, dan ia bahkan menunjukkan bahwa orang yang pernah ditangkapnya kini mendukungnya. Perseteruan antara Anies dan Prabowo semakin memanas, membicarakan sejumlah isu, mulai dari penyalahgunaan kekuasaan hingga situasi di Papua.
Meskipun terdapat ketegangan dan konflik dalam debat, terlihat bahwa ketiga pasangan calon sepakat dalammenghadapi isu pemberantasan korupsi. Ganjar Pranowo berjanji untuk mengirim para koruptor ke Nusakambangan untuk efek jera. Prabowo menyatakan bahwa korupsi merupakan pengkhianatan terhadap bangsa yang harus diberantas hingga ke akar-akarnya. Anies juga mengusulkan revisi UU KPK dan bahkan mempertimbangkan langkah-langkah untuk memiskinkan para koruptor yang tertangkap.
Namun, reaksi terhadap acara debat tidak hanya terbatas pada apresiasi. Sejumlah kritik muncul, terutama dari aktivis HAM seperti Suciwati, istri dari aktivis HAM Munir Said Thalib. Menurut Suciwati, orasi para capres mengenai pelanggaran HAM berat hanya sebatas opini belaka, tanpa memberikan solusi konkret. Ia bahkan menyatakan bahwa setelah 25 tahun reformasi, hanya janji kosong yang diberikan.
Pergeseran dukungan dari satu kubu ke kubu lainnya terlihat setelah debat pertama. Beberapa masyarakat yang awalnya mendukung capres nomor urut 1, pindah mendukung capres nomor urut 2, dan sebaliknya. Dinamika ini mencerminkan dampak debat capres 2024 yang begitu memukau dan mempengaruhi pandangan masyarakat. Antusiasme masyarakat tidak hanya terbatas di tingkat lokal, tetapi juga mencapai tingkat nasional dan internasional, tercermin dari liputan luas di berbagai media televisi.
Proses demokrasi dan partisipasi masyarakat dalam pemilihan presiden juga dijaga melalui manajemen yang melakukan pelaksanaan pemilu 2024. Dengan saksi-saksi yang menyaksikan proses penghitungan suara di berbagai daerah, diharapkan tidak ada kecurangan yang terjadi. Hasil penghitungan tersebut nantinya akan dikumpulkan dan digabungkan untuk menciptakan gambaran keseluruhan dari suara masyarakat Indonesia.
Namun, perlu dicermati bahwa opini ini harus disikapi dengan kritis, mengingat sejumlah hal yang menjadi sorotan.
Pertama, dalam debat capres, munculnya kontroversi terkait isu HAM, terutama 12 kasus HAM berat yang diungkap oleh Ganjar Pranowo. Meskipun isu ini mencerminkan keprihatinan terhadap pelanggaran HAM, pembelaan Prabowo Subianto yang mencoba meredam kontroversi dengan menunjukkan dukungan dari orang yang pernah ditangkapnya menjadi poin yang membingungkan. Sebagai pemimpin calon presiden, pentingnya memberikan penjelasan dan solusi konkret mengenai isu-isu ini sangat diperlukan untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas kepemimpinan.
Kemudian, kritik yang muncul dari aktivis HAM, Suciwati, memberikan perspektif bahwa debat capres hanya sebatas opini belaka. Hal ini mencerminkan kekhawatiran bahwa diskusi seputar pelanggaran HAM berat hanya menjadi retorika tanpa tindakan konkret yang dapat menjamin keadilan dan penegakan hukum. Janji-janji untuk memiskinkan para koruptor dan pemberantasan korupsi, sementara penting, juga perlu diimbangi dengan strategi pelaksanaan yang konkret dan terukur.
Pergeseran dukungan dari satu kubu ke kubu lainnya menunjukkan dinamika politik yang signifikan. Namun, perlu diperhatikan bahwa perubahan dukungan ini tidak selalu mencerminkan perubahan substansial dalam visi, misi, atau integritas calon presiden. Masyarakat perlu memastikan bahwa pergeseran dukungan didasarkan pada pemahaman mendalam terhadap program dan komitmen dari masing-masing calon.
Terakhir, meskipun harapan masyarakat terhadap pemilihan presiden 2024 sangat besar, perlu diingat bahwa ekspektasi tinggi juga berarti risiko kekecewaan yang lebih besar jika hasilnya tidak sesuai harapan. Oleh karena itu, penting bagi masyarakat untuk tetap kritis, mengikuti perkembangan kampanye, dan menganalisis platform serta rencana aksi calon presiden dengan seksama.
Secara keseluruhan, sementara proses pemilihan presiden Indonesia mencerminkan partisipasi aktif masyarakat dan serangkaian peristiwa yang menarik, kritik yang konstruktif perlu diajukan untuk memastikan bahwa proses demokrasi berjalan dengan lebih baik dan bahwa pemimpin terpilih benar-benar dapat memenuhi harapan masyarakat Indonesia untuk masa depan yang lebih baik.