Apakah Tapera Merupakan Solusi Terbaik bagi Para Pekerja untuk Memiliki Hunian?
FEBRIANTI AMELIYAH
Mahasiswa STEBI Batam
Belakangan ini, Tabungan Perumahan Rakyat atau Tapera telah menjadi perbincangan hangat di kalangan masyarakat, terutama para pekerja. Program ini mengharuskan pemotongan gaji sebesar 3%, dengan skema di mana 0,5% ditanggung oleh pemberi kerja dan 2,5% oleh pekerja. Kewajiban ini berlaku untuk berbagai kalangan, termasuk PNS, TNI, Polri, karyawan BUMN, swasta, dan mandiri. Namun, kebijakan Tapera ini juga menuai berbagai penolakan karena dinilai memberatkan bagi para pekerja. Pertanyaannya, apakah Tapera benar-benar menjadi solusi terbaik bagi masyarakat, khususnya pekerja, untuk memiliki hunian?
Tapera, atau Tabungan Perumahan Rakyat, adalah program simpanan periodik yang hanya dapat digunakan untuk pembiayaan perumahan atau dikembalikan bersama hasil pemupukan setelah periode kepesertaan berakhir (Pasal 1 PP No. 25/2020). Program ini merupakan evolusi dari Badan Pertimbangan Tabungan Perumahan Pegawai Negeri Sipil (Bapertarum-PNS), yang pengelolaannya dialihkan sejak munculnya UU Tapera.
Menurut situs BP Tapera, Bapertarum awalnya dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden No. 14 Tahun 1993 oleh Presiden Soeharto pada 15 Februari 1993. Dasar hukum Tapera diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 21 Tahun 2024 tentang Perubahan atas PP No. 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tapera. Pembentukan Tapera didasarkan pada tiga landasan: filosofis (rumah sebagai tempat tinggal), sosiologis (rumah sebagai pembentuk karakter bangsa), dan yuridis (UU No. 1 Tahun 2011 tentang Tapera). Pengelolaan Tapera berprinsip gotong royong, manfaat, nirlaba, hati-hati, keterjangkauan, kemandirian, keadilan, keberlanjutan, akuntabilitas, keterbukaan, portabilitas, dan dana amanat.
Namun, banyak masyarakat, terutama pekerja, menolak kebijakan ini karena dianggap membebani dan memaksa untuk memiliki tabungan perumahan, terutama dalam konteks ekonomi saat ini.
Menurut lembaga riset Center of Economic and Law Studies (Celios), kebijakan Tapera diperkirakan dapat menyebabkan penurunan PDB sebesar Rp1,21 triliun, mengindikasikan dampak negatif terhadap output ekonomi secara keseluruhan. Para pelaku usaha juga melaporkan penurunan profitabilitas di berbagai sektor, akibat penurunan tingkat konsumsi masyarakat (kontributor utama PDB) di tengah daya beli yang melemah dan biaya hidup yang meningkat.
Kebijakan ini juga berpotensi menurunkan pendapatan pekerja, karena pemotongan gaji yang signifikan telah membebani pengeluaran konsumsi masyarakat. Contohnya, pekerja ojek online telah merasakan dampaknya melalui potongan pajak dan biaya aplikasi, ditambah dengan kewajiban Tabungan Tapera. Hal ini dapat memperburuk kondisi ekonomi pekerja, terutama mereka yang bergantung pada pendapatan harian.
Efek terbesar dari kebijakan Tapera mungkin terlihat dalam pengurangan tenaga kerja, di mana pemotongan gaji dapat mengakibatkan hilangnya 466,83 ribu lapangan kerja. Kebijakan ini diyakini dapat berdampak negatif pada investasi dan konsumsi perusahaan, yang pada gilirannya mempengaruhi lapangan kerja.
Pengelolaan dana Tapera juga menciptakan kekhawatiran akan kepercayaan masyarakat, terutama setelah skandal korupsi yang melibatkan lembaga investasi seperti PT Asuransi Jiwasraya, Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Asabri), dan PT Dana Tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri (Taspen), serta skandal "Taperumgate" di masa Orde Baru.
Secara keseluruhan, meskipun Tapera memberikan kontribusi kecil terhadap pendapatan negara sebesar Rp20 miliar, dampak negatif dari kebijakan iuran wajib Tapera jauh lebih besar. Banyak harapan dari masyarakat agar pemerintah merevisi PP No. 21/2024 untuk menjadikan iuran Tapera bersifat sukarela, mengembalikan kewajiban iuran kepada PNS, TNI, dan Polri seperti sebelumnya. Lebih dari itu, solusi jangka panjang untuk masalah harga properti yang tinggi harus mencakup strategi mengatasi spekulasi lahan, sehingga rumah layak dan terjangkau menjadi tersedia bagi semua lapisan masyarakat. Dengan demikian, memaksa masyarakat menabung di Tapera bukanlah solusi yang tepat dalam menanggapi tantangan struktural yang dihadapi dalam akses perumahan yang layak.