Kritik Terhadap Pemahaman Media Asing Mengenai Defisit APBN di Bawah Pemerintahan Prabowo
Opini : Kamariah
Mahasiswa Manajemen Bisnis Syariah Kota Batam
Pada masa transisi kekuasaan pemerintahan, isu seputar kebijakan fiskal sering kali menjadi perhatian utama, terutama ketika ada prediksi atau spekulasi mengenai perubahan signifikan dalam undang-undang yang mengatur aspek keuangan negara. Dalam konteks ini, rencana perubahan indikator-indikator seperti batasan defisit dan rasio utang dalam UU Keuangan Negara menjadi sorotan utama media dan analis.
Pertama-tama, penting untuk mencermati bahwa rencana perubahan tersebut disinyalir bertujuan untuk memenuhi janji-janji kampanye Presiden Terpilih, termasuk program makan siang gratis bagi anak sekolah. Pemerintah yang baru akan menghadapi tugas menyesuaikan program-program tersebut dengan anggaran yang tersedia, yang diestimasi mencapai Rp 450 triliun setahun.
Namun, penyesuaian ini tidak serta-merta mengubah batasan-batasan yang ada dalam UU Keuangan Negara secara sepihak. Sebuah sumber dari CNBC Indonesia mengindikasikan bahwa perubahan ini tidak bersifat melanggar hukum, karena batasan defisit dan rasio utang yang dimaksud hanya tercantum dalam penjelasan pasal, bukan dalam isi pokok UU itu sendiri. UU Keuangan Negara dapat diubah melalui proses legislatif yang sesuai, yang memungkinkan revisi atas penjelasan-penjelasan seperti ini.
Perubahan ini juga perlu dipandang dalam konteks praktis kebijakan fiskal yang dihadapi oleh pemerintahan baru. Saat ini, batasan defisit untuk APBN 2025 yang dirancang pemerintah saat ini mendekati batas yang diatur dalam UU Keuangan Negara, namun masih berada di bawah 3% PDB. Ini menunjukkan bahwa tidak ada tindakan yang secara signifikan melampaui batas yang diatur saat ini.
Sementara media asing, seperti dilaporkan oleh Bloomberg, telah menyoroti potensi peningkatan defisit dan rasio utang yang diatribusikan kepada pemerintahan Prabowo. Mereka mengindikasikan bahwa peningkatan ini dapat mempengaruhi sentimen pasar dan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Namun, penting untuk diingat bahwa spekulasi ini masih harus dibuktikan dengan langkah-langkah konkret dari pemerintahan yang baru.
Analisis dari sejumlah ekonom, seperti yang disampaikan oleh Ryan Kiryanto dari LPPI, menyatakan bahwa sentimen negatif dari pasar keuangan terhadap Indonesia dapat diperburuk oleh perubahan ini. Namun, perlu dicatat bahwa faktor-faktor eksternal, termasuk kebijakan The Fed terkait suku bunga AS, juga memiliki dampak signifikan terhadap nilai tukar rupiah. Oleh karena itu, menyalahkan hanya perubahan kebijakan fiskal domestik mungkin terlalu simplistik dalam mengevaluasi dinamika pasar global.
Sebaliknya, pandangan dari Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional, Suharso, menegaskan bahwa program-program investasi yang direncanakan oleh pemerintahan Prabowo tidak hanya memperhitungkan aspek fiskal jangka pendek, tetapi juga dampak positif jangka panjangnya terhadap perekonomian Indonesia. Ini termasuk investasi dalam infrastruktur dan program kesejahteraan sosial, yang diharapkan dapat meningkatkan daya saing dan pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.
Dalam konteks ini, kritik yang diberikan oleh Morgan Stanley dan beberapa ekonom internasional perlu disikapi dengan hati-hati. Peringatan mereka terhadap potensi risiko ekonomi harus dilihat sebagai masukan yang membangun, namun tidak boleh digeneralisir sebagai satu-satunya faktor yang mempengaruhi kondisi ekonomi Indonesia. Pemerintah harus mampu memberikan klarifikasi yang tepat dan meyakinkan kepada pasar dan investor internasional mengenai arah kebijakan ekonomi yang akan diambil.
Secara keseluruhan, wacana mengenai perubahan UU Keuangan Negara dan dampaknya terhadap ekonomi serta sentimen pasar memang memerlukan diskusi mendalam dan analisis yang akurat. Tudingan terhadap pemerintahan Prabowo Subianto bahwa mereka akan melanggar hukum dengan mengubah indikator keuangan negara seharusnya tidak hanya didasarkan pada spekulasi atau pandangan negatif semata. Perubahan kebijakan harus dipahami dalam konteks kebutuhan fiskal negara yang dinamis dan tantangan ekonomi global yang kompleks.
Dalam menghadapi tantangan ini, pemerintah harus menjaga keseimbangan antara memenuhi janji kampanye dan menjaga stabilitas fiskal, serta memberikan transparansi dan komunikasi yang baik kepada semua pemangku kepentingan agar dapat membangun kepercayaan yang diperlukan untuk pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan inklusif di masa depan.