Dinamika Hukum Laut Internasional Dalam Mengatasi Isu Maritim di Tanjungpinang

Diterbitkan oleh Redaksi pada Selasa, 17 Desember 2024 21:31 WIB dengan kategori Opini Suara Mahasiswa dan sudah 103 kali ditampilkan

Rufi Rahmani

2305040046

rufiyadhe@icloud.com

Tanjungpinang, sebagai ibu kota Provinsi Kepulauan Riau, memiliki posisi geografis yang strategis karena terletak di jalur perdagangan maritim internasional yang sibuk. Wilayah ini merupakan pintu gerbang lalu lintas laut yang menghubungkan berbagai negara di Asia Tenggara dan sekitarnya. Namun, potensi besar ini diiringi dengan sejumlah permasalahan maritim yang mencakup isu keamanan, illegal fishing, penyelundupan, dan pengelolaan sumber daya laut. Oleh karena itu, penerapan hukum laut internasional, khususnya dalam kerangka UNCLOS (United Nations Convention on the Law of the Sea), menjadi kunci penting dalam menangani berbagai persoalan tersebut.

Hukum laut internasional menyediakan seperangkat aturan untuk mengatur hak dan kewajiban negara-negara dalam mengelola perairan. Dalam konteks Tanjungpinang, implementasi hukum laut internasional diharapkan dapat memberikan solusi terhadap tantangan maritim yang dihadapi, baik dari segi keamanan, ekonomi, maupun keberlanjutan sumber daya laut. Namun, efektivitas implementasi hukum ini membutuhkan sinergi antara pemerintah daerah, penegak hukum, dan pihak-pihak terkait lainnya.

Tanjungpinang memiliki sejumlah tantangan dalam pengelolaan perairannya. Salah satu isu utama adalah aktivitas ilegal seperti penangkapan ikan secara ilegal (illegal fishing) dan penyelundupan. Menurut data yang dirilis oleh Polairut Kepulauan Riau, aktivitas ilegal di wilayah perairan ini masih sering terjadi karena letaknya yang strategis namun rawan pengawasan.

Dr. Hasjim Djalal, pakar hukum laut internasional Indonesia, menekankan bahwa salah satu kelemahan utama dalam pengelolaan wilayah maritim di Indonesia adalah minimnya pengawasan dan penegakan hukum di laut. Dalam wawancara pada forum maritim internasional, beliau menyatakan, “UNCLOS memberikan kerangka hukum yang jelas, tetapi implementasinya di lapangan memerlukan koordinasi antar lembaga yang lebih baik, termasuk di daerah strategis seperti Kepulauan Riau.”

Isu lain yang dihadapi adalah konflik terkait batas wilayah perairan. Meskipun UNCLOS telah mengatur prinsip delimitasi zona ekonomi eksklusif (ZEE) dan laut teritorial, pelanggaran batas oleh kapal asing kerap terjadi. Kepala Dinas Perhubungan Tanjungpinang, Ahmad Yani, menjelaskan bahwa konflik ini membutuhkan pendekatan diplomatik yang selaras dengan prinsip hukum laut internasional. “Penegakan hukum harus diiringi dengan perundingan dan diplomasi untuk menghindari eskalasi konflik,” ujarnya.

Tidak hanya itu, masalah lingkungan maritim turut menjadi perhatian serius. Aktivitas eksploitasi sumber daya laut dan polusi laut dapat merusak ekosistem yang menjadi sumber mata pencaharian nelayan lokal. Pemerintah daerah Tanjungpinang melalui Dinas Kelautan dan Perikanan menyatakan bahwa perlunya pengelolaan yang berkelanjutan sesuai dengan ketentuan hukum internasional. “Kita harus memastikan keberlanjutan sumber daya laut, bukan hanya demi ekonomi saat ini, tetapi juga generasi mendatang,” ungkap Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan, Susanto.

Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS) 1982 menjadi pijakan hukum dalam mengatur hak dan kewajiban negara di laut. UNCLOS menetapkan berbagai zona maritim seperti laut teritorial, zona tambahan, zona ekonomi eksklusif (ZEE), dan landas kontinen. Indonesia, sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, memiliki kewajiban untuk menerapkan UNCLOS dalam pengelolaan perairannya, termasuk di Tanjungpinang.

Menurut Prof. Hikmahanto Juwana, pakar hukum internasional dari Universitas Indonesia, UNCLOS memberikan kepastian hukum dalam menentukan yurisdiksi negara di wilayah laut. Dalam konteks Tanjungpinang, penerapan hukum ini dapat membantu mengatasi berbagai permasalahan seperti eksploitasi sumber daya laut oleh pihak asing. “Zona ekonomi eksklusif memberi hak penuh kepada negara untuk mengeksploitasi dan mengelola sumber daya alam di perairan yang berjarak hingga 200 mil laut dari garis pantai,” jelasnya.

Selain itu, UNCLOS juga mengatur hak lintas damai kapal-kapal asing di laut teritorial. Namun, banyak kapal asing yang memanfaatkan aturan ini untuk melakukan aktivitas ilegal seperti penyelundupan dan penangkapan ikan tanpa izin. Direktur Polairut Polda Kepulauan Riau, Kombes Pol. Rudi Hartono, menekankan perlunya pengawasan ketat di perairan Tanjungpinang. “Kami terus meningkatkan patroli dan penegakan hukum untuk memastikan bahwa hukum laut internasional dapat diterapkan dengan baik di wilayah ini,” ujarnya.