Ketika Sekjen PDI-P Menjadi Tersangka: Apa yang Bisa Dipelajari Mahasiswa tentang Integritas Hukum?
Saiful K. Teibang
Mahasiswa Manajemen Bisnis Syariah STEBI Batam
Berita bahwa seorang Sekretaris Jenderal (Sekjen) partai politik besar seperti PDI-P menjadi tersangka kasus korupsi menimbulkan pertanyaan penting mengenai integritas hukum di Indonesia. Kejadian ini tidak hanya menguji kredibilitas lembaga penegak hukum, tetapi juga memberikan pelajaran berharga bagi mahasiswa, khususnya yang mempelajari hukum, politik, dan etika. Dalam opini ini, kita akan membahas beberapa aspek kunci terkait integritas hukum, relevansi temuan dari jurnal penelitian, serta apa yang bisa dipelajari generasi muda dari peristiwa ini.
Korupsi adalah kejahatan luar biasa yang merusak nilai-nilai demokrasi, moralitas, dan keadilan. Sebagaimana disebutkan dalam jurnal Jurnal Iqtisad: Reconstruction of Justice and Welfare for Indonesia, korupsi melibatkan penyalahgunaan kekuasaan oleh politisi atau pegawai negeri untuk memperkaya diri sendiri secara tidak sah. Dalam konteks kasus ini, penting untuk menggarisbawahi bahwa partai politik sering menjadi episentrum dari berbagai skandal korupsi.
Sebagai mahasiswa, peristiwa ini menuntut kita untuk berpikir kritis tentang bagaimana kekuasaan partai politik dapat disalahgunakan. Jurnal ini juga menyoroti pentingnya pendekatan “follow the money” dan “asset recovery” untuk menelusuri aliran dana dan memulihkan aset yang telah dikorupsi. Hal ini menunjukkan bahwa mahasiswa hukum perlu memahami pentingnya metode analisis keuangan dalam penegakan hukum.
Status Lembaga Antikorupsi: Kemandirian atau Ketergantungan?
Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019, status Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai lembaga independen berubah menjadi bagian dari rumpun eksekutif. Seperti dijelaskan dalam jurnal Legistatif, perubahan ini menjadi polemik karena mengurangi independensi KPK dalam menjalankan tugasnya. Penafsiran Philip Bobbit tentang perubahan ini menggarisbawahi pentingnya pendekatan historis, tekstual, dan struktural dalam menilai dampaknya.
Dalam kasus Sekjen PDI-P, mahasiswa dapat belajar bahwa integritas hukum memerlukan lembaga yang benar-benar independen. Jika KPK tidak memiliki kebebasan penuh dalam menangani kasus-kasus besar, kredibilitas sistem hukum dapat dipertanyakan. Oleh karena itu, penting bagi generasi muda untuk terus mengawasi dan mendukung upaya menjaga independensi lembaga antikorupsi.
Pentingnya Pendidikan Anti-Korupsi
Budaya korupsi di Indonesia sering dianggap sebagai fenomena turun-temurun. Jurnal Sui Generis menegaskan bahwa pendidikan anti-korupsi sangat penting untuk menanamkan nilai-nilai integritas sejak dini. Bagi mahasiswa, hal ini berarti memahami korupsi bukan hanya sebagai persoalan hukum, tetapi juga sebagai masalah budaya yang memerlukan pendekatan lintas disiplin.
Pendidikan anti-korupsi dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti diskusi kritis di kampus, simulasi pengadilan, dan kolaborasi dengan lembaga antikorupsi seperti KPK. Dengan meningkatkan kesadaran tentang dampak korupsi, generasi muda dapat menjadi agen perubahan yang efektif dalam memberantas praktik-praktik tidak etis.
Teknologi dan Transparansi dalam Partai Politik
Salah satu inovasi penting yang diangkat dalam jurnal Integritas: Jurnal Antikorupsi adalah penerapan sistem whistleblowing dalam partai politik. Sistem Informasi dan Aduan Partai Politik (SIAPP) yang disebutkan dalam jurnal ini dirancang untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas partai. Dengan melibatkan masyarakat secara langsung melalui platform digital, partai politik dapat membangun kepercayaan publik.
Mahasiswa yang mempelajari hukum dan teknologi dapat mengambil pelajaran dari inovasi ini. Di era digital, teknologi dapat digunakan sebagai alat untuk mencegah korupsi dan mempromosikan transparansi. Mahasiswa dapat berkontribusi dengan mengembangkan solusi teknologi atau berpartisipasi dalam program-program advokasi antikorupsi berbasis digital.
Efek Jera dan Pengawasan Publik
Dalam jurnal Binamulia Hukum, disoroti bahwa vonis berat bagi pelaku korupsi dapat memberikan efek jera yang signifikan. Namun, tanpa pengawasan publik yang memadai, upaya ini dapat kehilangan efektivitasnya. Mahasiswa dapat memainkan peran penting dalam mengawal proses hukum, misalnya melalui organisasi mahasiswa, kegiatan advokasi, atau diskusi publik.
Sebagai generasi yang melek teknologi, mahasiswa juga memiliki kesempatan untuk memanfaatkan media sosial sebagai alat untuk menyuarakan keadilan. Dengan memantau dan melaporkan kasus-kasus yang mencurigakan, mereka dapat mendorong transparansi dan akuntabilitas di sektor publik maupun swasta.
Refleksi bagi Mahasiswa
Dari peristiwa ini, mahasiswa dapat menarik beberapa pelajaran penting yang relevan tidak hanya untuk kehidupan akademik mereka, tetapi juga untuk masa depan profesional dan sosial mereka.
Pertama, integritas pribadi dan profesional adalah nilai fundamental yang harus diinternalisasi sejak dini. Mahasiswa perlu menyadari bahwa integritas bukanlah sekadar konsep abstrak yang hanya dibahas dalam ruang kelas atau seminar. Sebaliknya, integritas adalah landasan yang menopang keberhasilan dalam profesi apa pun. Dalam setiap keputusan yang diambil, baik besar maupun kecil, mahasiswa harus mempertimbangkan dampaknya terhadap diri mereka sendiri, masyarakat, dan bangsa. Misalnya, menolak untuk terlibat dalam tindakan kecil yang tidak etis, seperti plagiarisme atau manipulasi data, merupakan langkah awal yang mencerminkan komitmen terhadap integritas. Dengan menanamkan nilai ini sejak di bangku kuliah, mahasiswa dapat mempersiapkan diri untuk menjadi pemimpin yang dipercaya dan dihormati di masa depan.
Kedua, keberanian untuk bersikap kritis terhadap sistem juga menjadi pelajaran berharga. Dalam konteks perubahan status lembaga seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), mahasiswa harus mampu mengamati, menganalisis, dan mengevaluasi dampaknya secara kritis. Kemampuan ini membutuhkan keberanian untuk berbicara dan mempertanyakan kebijakan atau praktik yang dirasa melemahkan upaya pemberantasan korupsi. Mahasiswa adalah bagian dari agen perubahan, dan suara mereka, ketika didasarkan pada pengetahuan yang mendalam dan pemahaman yang baik, memiliki potensi untuk mendorong perbaikan dalam sistem pemerintahan. Kritik yang konstruktif dapat menjadi motor penggerak perubahan yang positif, dan mahasiswa memiliki tanggung jawab moral untuk menggunakannya dengan bijak.
Ketiga, kolaborasi antardisiplin menjadi kunci dalam menghadapi masalah korupsi yang kompleks. Masalah ini tidak dapat diselesaikan oleh satu sektor atau disiplin ilmu saja. Mahasiswa dari berbagai latar belakang, seperti hukum, ekonomi, teknologi, sosiologi, dan pendidikan, dapat bekerja sama untuk menciptakan solusi yang inovatif dan holistik. Misalnya, mahasiswa hukum dapat berfokus pada penguatan regulasi, sementara mahasiswa teknologi dapat mengembangkan aplikasi yang meningkatkan transparansi dan akuntabilitas. Dengan kolaborasi semacam ini, upaya pemberantasan korupsi menjadi lebih efektif, karena melibatkan berbagai perspektif yang saling melengkapi.
Kasus Sekjen PDI-P menjadi tersangka korupsi adalah pengingat penting bahwa korupsi masih menjadi ancaman besar bagi integritas hukum dan demokrasi di Indonesia. Dari perspektif akademik, mahasiswa dapat belajar tentang pentingnya independensi lembaga penegak hukum, peran pendidikan anti-korupsi, serta teknologi dalam mempromosikan transparansi.
Sebagai generasi penerus, mahasiswa memiliki tanggung jawab moral untuk menjaga nilai-nilai keadilan dan etika. Dengan mengedepankan integritas dalam kehidupan pribadi dan profesional, mereka dapat menjadi agen perubahan yang membawa Indonesia menuju masa depan yang lebih bersih dan adil.