Generasi Rapuh atau Terlalu Ditekan?

Diterbitkan oleh Redaksi pada Selasa, 3 Juni 2025 08:40 WIB dengan kategori Feature dan sudah 46 kali ditampilkan

Daffa Akshana

Mahasiswa Politeknik Negeri Jakarta

“Maaf, saya belum siap. Takut salah.” Kalimat itu terdengar ringan. Namun, semakin sering diucapkan, semakin terasa berat. Terutama ketika keluar dari bibir mahasiswa, pelamar kerja, atau bahkan siswa SMA yang belum genap 18 tahun. Di baliknya tersembunyi rasa takut: takut gagal, takut ditertawakan, takut dianggap tidak cukup. Lalu muncul pertanyaan yang sering kali kita dengar: apakah generasi muda saat ini lebih rapuh daripada generasi sebelumnya? Ataukah mereka justru tumbuh di tengah tekanan yang jauh lebih kompleks?

Tekanan Sempurna di Era Digital
Bagi generasi muda hari ini, media sosial bukan sekadar tempat berbagi. Ia telah berubah menjadi panggung pencapaian. Instagram, TikTok, hingga LinkedIn dipenuhi dengan foto wisuda, promosi jabatan, atau perjalanan ke luar negeri. Sayangnya, algoritma jarang menampilkan sisi kegagalan. Yang terlihat hanyalah puncak-puncak keberhasilan yang dikurasi dengan rapi.

Fenomena ini disebut highlight reel effect, yaitu ketika kita membandingkan realitas hidup kita dengan potongan momen terbaik milik orang lain. Inilah salah satu penyebab mengapa generasi muda saat ini lebih rentan mengalami kecemasan dan perasaan tidak cukup. Hal ini menimbulkan kecemasan sosial, bahkan dapat menurunkan kepercayaan diri.

Gagal Jadi Musuh Sejak Sekolah
Sejak kecil, banyak dari kita diajarkan bahwa nilai tinggi adalah segalanya. Gagal ujian, remedial, atau bahkan hanya mendapat nilai B bisa menjadi sumber malu. Padahal, kesalahan adalah bagian penting dalam proses belajar. Akibatnya, banyak pelajar yang takut mencoba. Mereka lebih memilih diam daripada salah. Lebih baik tidak ikut lomba daripada kalah. Lebih baik menunda tugas daripada mendapat nilai buruk. Ketakutan ini perlahan-lahan tumbuh menjadi kebiasaan yang terbawa hingga dewasa.

Ekspektasi Keluarga dan Beban Generasi Sandwich
Di balik layar gawai, tekanan lain datang dari rumah. Banyak anak muda hari ini tumbuh dengan harapan besar dari orang tua. Harapan itu mungkin datang dari niat baik: agar hidup anak lebih baik daripada hidup orang tuanya. Namun, bagi sebagian, itu berubah menjadi beban.

"Saya harus cepat lulus biar bisa kerja buat bantu adik sekolah," ujar Adrian, seorang mahasiswa tingkat akhir yang bekerja sambil kuliah. "Kadang saya takut gagal, karena kalau saya jatuh, keluarga saya ikut jatuh."

Generasi muda yang tumbuh sebagai generasi sandwich—yang menopang generasi di atas dan di bawah mereka—sering kali tidak memiliki ruang untuk gagal. Mereka harus "berhasil", bukan untuk diri sendiri, tetapi demi orang lain.

Kata Psikolog: Takut Gagal Itu Wajar
Takut gagal bukan hal baru. Namun, intensitas dan skalanya kini berbeda. Di masa kini, kegagalan lebih terlihat, lebih cepat tersebar, dan lebih mudah dijadikan bahan penilaian.

“Kita hidup di era performatif. Banyak anak muda merasa selalu dinilai, baik secara daring maupun luring. Ini menciptakan tekanan konstan untuk tampil sempurna. Bahkan ketika mereka sedang istirahat, mereka merasa bersalah karena merasa tidak produktif,” jelas seorang psikolog. Ini semakin memperjelas tekanan psikologis yang ada dalam diri mereka.

Istilah seperti imposter syndrome, perfectionism, dan failure anxiety makin sering ditemukan dalam konsultasi psikologis. Bahkan, menurut data dari WHO, gangguan kecemasan dan depresi meningkat signifikan pada kelompok usia 15–29 tahun selama lima tahun terakhir. Bukan karena manja—mungkin karena mereka belum pernah diajarkan bahwa gagal adalah bagian dari tumbuh.

Mereka yang Berani Gagal
Namun, tidak semua takut. Beberapa justru menemukan kekuatan melalui kegagalan. Seperti Adit (26), yang bisnis roll paper-nya bangkrut saat pandemi.

"Dulu saya pikir gagal itu akhir. Tapi ternyata, dari situ saya belajar lagi soal manajemen, dan sekarang saya bekerja sebagai konsultan bisnis kecil-kecilan. Kalau nggak gagal, saya nggak akan punya keterampilan itu."

Cerita lain datang dari Sheila (23), yang gagal masuk universitas negeri selama dua tahun berturut-turut.

“Saya merasa hancur waktu itu. Tapi saya akhirnya sadar bahwa nilai saya bukan ditentukan kampus mana yang menerima saya. Sekarang saya kuliah sambil menjadi relawan pendidikan. Itu memberi saya makna yang lebih dari sekadar ijazah.”

Membangun Budaya Gagal yang Sehat
Kita butuh ruang untuk gagal. Bukan sekadar slogan “gagal itu biasa,” tetapi sistem yang sungguh-sungguh memberi ruang untuk itu. Sekolah yang memberikan kesempatan mencoba tanpa takut dimarahi. Orang tua yang mau mendengar dan memahami. Teman yang mendukung, bukan membandingkan.