Ketika Sindikat Narkoba Diringankan: Potret Buram Peradilan Indonesia

Diterbitkan oleh Redaksi pada Jumat, 6 Juni 2025 14:10 WIB dengan kategori Opini dan sudah 51 kali ditampilkan

Putusan majelis hakim terhadap Azis Martua Siregar dalam kasus peredaran narkotika di Batam menimbulkan pertanyaan besar di tengah upaya bangsa ini memerangi narkoba secara sistemik dan konsisten. Azis, yang divonis 13 tahun penjara dan denda Rp3 miliar, mendapat keringanan hukuman signifikan dari tuntutan jaksa yang semula meminta 20 tahun penjara dan denda Rp3,85 miliar.

Keringanan ini, meski dijelaskan karena sikap kooperatif terdakwa selama persidangan dan kontribusinya dalam membongkar jaringan narkoba yang melibatkan 10 mantan anggota Satresnarkoba Polresta Barelang, tetap patut dikritisi secara serius. Dalam konteks pelanggaran berat seperti peredaran narkotika, terlebih yang melibatkan aparat penegak hukum, publik mengharapkan adanya putusan yang mencerminkan ketegasan negara dalam menegakkan hukum tanpa kompromi.

Majelis hakim memang menyebut bahwa perbuatan Azis bertentangan dengan semangat Asta Cita Presiden RI, terutama dalam upaya pemberantasan narkoba. Namun, ironi muncul ketika vonis yang dijatuhkan justru jauh lebih ringan daripada tuntutan jaksa, menciptakan kesan bahwa keadilan bisa dinegosiasikan oleh faktor-faktor non-hukum, seperti sikap sopan atau penyesalan terdakwa.

Terlebih lagi, keterlibatan aparat dalam kasus ini seharusnya memperberat posisi hukum bagi semua pihak yang terlibat, bukan justru memberi celah untuk hukuman yang lebih lunak. Bahwa Azis membantu mengungkap skandal tersebut bisa dianggap sebagai bentuk tanggung jawab, tetapi itu tidak menghapus fakta bahwa ia adalah bagian dari sistem kejahatan itu sendiri.

Dalam kasus yang mencoreng integritas institusi penegak hukum, seharusnya pengadilan dapat menunjukkan komitmen yang kuat untuk memberi efek jera, bukan hanya pada pelaku sipil, tetapi juga pada oknum aparat yang menyalahgunakan kewenangan. Vonis ringan terhadap pelaku utama dalam jaringan semacam ini justru berisiko menciptakan preseden negatif di masa depan, bahwa keterlibatan dalam sindikat kejahatan bisa “dimaafkan” selama seseorang kooperatif di pengadilan.

Penegakan hukum di Indonesia tidak boleh berhenti pada pembacaan amar putusan, tetapi harus mencerminkan rasa keadilan masyarakat yang selama ini berharap pada sistem peradilan yang bersih, tegas, dan tak pandang bulu. Jika tidak, maka setiap upaya pemberantasan narkoba hanya akan menjadi slogan kosong yang kehilangan makna di hadapan publik.