Mengapa Berpikir Positif Tetap Relevan di Era Krisis

Diterbitkan oleh Redaksi pada Jumat, 6 Juni 2025 00:20 WIB dengan kategori Opini Suara Mahasiswa dan sudah 66 kali ditampilkan

OPINI:

Muhammad Naufal Syafrie

Mahasiswa Politeknik Negeri Jakarta

 

Dalam situasi penuh ketidakpastian seperti sekarang, mulai dari dampak pandemi, ancaman resesi, hingga berita buruk yang tak kunjung usai, berpikir positif sering dianggap sepele, bahkan dinilai sekadar "pemanis kata-kata." Namun, sebagai seorang jurnalis yang sehari-hari bersentuhan dengan fakta pahit dan realitas keras, saya justru berpendapat sebaliknya: berpikir positif tetap relevan, bahkan lebih penting dari sebelumnya.

Mengapa? Karena berpikir positif bukanlah sekadar kata mutiara, melainkan fondasi psikologis yang menopang ketahanan diri. Di era krisis, kita butuh lebih dari sekadar data dan angka. Kita butuh narasi yang memampukan kita bangkit.

Kebaruan: Berpikir Positif sebagai Jembatan Kesadaran

Berpikir positif dalam krisis bukan berarti menyangkal kenyataan. Justru sebaliknya, ia menjadi jembatan yang menghubungkan kita dengan realitas yang sering kali menakutkan. Melalui sudut pandang ini, saya melihat berpikir positif sebagai bentuk kesadaran aktif, bukan pengabaian masalah, melainkan kemampuan untuk tetap menemukan titik terang di balik kabar gelap.

Sebagai contoh, ketika angka pengangguran melonjak, kita tidak menutup mata terhadap fakta ini. Namun, dengan pikiran positif, kita bisa menggali peluang kerja baru atau keterampilan baru yang relevan dengan kebutuhan zaman.

Intelektual: Berpikir Positif, Jalan Menuju Ketahanan Mental

Konsep resilience atau ketahanan mental banyak dibicarakan dalam kajian psikologi modern. Saya melihat berpikir positif sebagai salah satu pilar resilience yang paling sederhana namun efektif. Penelitian di bidang psikologi kesehatan, misalnya oleh Fredrickson (2001), menunjukkan bahwa berpikir positif meningkatkan kemampuan adaptasi dan kreativitas saat menghadapi stres.

Dalam konteks jurnalistik, kita sering menemui narasi krisis yang mencekam. Namun, saya yakin bahwa membingkai narasi dengan sudut positif bukanlah bentuk manipulasi, melainkan upaya memberi harapan yang faktual. Hal ini menjadikan berpikir positif bukan sekadar wacana, tetapi alat intelektual untuk membangun narasi yang memotivasi.

Solusi: Bagaimana Menerapkannya?

Agar tidak menjadi jargon kosong, berpikir positif memerlukan langkah-langkah praktis berikut:

  • Sadari dan terima fakta.
    Berpikir positif tidak memungkiri masalah. Ia mengakui realitas, lalu mencari peluang di dalamnya.

  • Fokus pada hal yang bisa dikendalikan.
    Saat dunia terasa di luar kendali, kembalilah ke hal-hal yang bisa Anda pengaruhi, seperti waktu, reaksi, dan keputusan Anda sendiri.

  • Bangun lingkungan yang suportif.
    Berada di sekitar orang-orang yang mendukung membuat energi positif lebih mudah tumbuh.

  • Kelola konsumsi informasi.
    Pilah informasi yang bermanfaat dan jangan terjebak dalam pusaran berita negatif yang melemahkan semangat.

  • Beri waktu untuk refleksi.
    Meluangkan waktu untuk merenung membantu kita memproses emosi dan menemukan sudut pandang yang lebih konstruktif.

Relevansi untuk Kepentingan Publik

Bagi masyarakat luas, berpikir positif bukan sekadar nasihat moral, melainkan kebutuhan nyata. Krisis telah memengaruhi kesehatan mental, produktivitas, dan relasi sosial. Di sinilah berpikir positif menjadi modal sosial yang tak ternilai.

Sebagai jurnalis yang menulis untuk publik, saya percaya bahwa narasi positif yang akurat dapat membangkitkan optimisme kolektif, sesuatu yang sangat kita butuhkan di masa sulit.

Berpikir positif bukan sekadar retorika, melainkan langkah strategis untuk bertahan dan berkembang di tengah krisis. Inilah saatnya kita menata ulang narasi dan menyadari bahwa harapan bukan barang mewah. Ia adalah kebutuhan yang tak tergantikan.