Kabur Lewat Pintu Belakang, Menteri Bahlil Dituding Jadi Pelindung Tambang Perusak Raja Ampat
PAPUA - TERKININEWS.COM - Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, menuai kritik keras setelah melakukan kunjungan ke tambang nikel PT GAG Nikel di Pulau Gag, Raja Ampat, Papua Barat Daya, pada Sabtu (7/6/2025). Meski kunjungan tersebut disebut untuk meninjau langsung dampak tambang terhadap kawasan wisata, banyak pihak menilai langkah Bahlil hanyalah formalitas semata.
Yang membuat situasi semakin panas adalah sikap Bahlil yang memilih menghindari massa aksi di Bandara DEO Sorong dengan keluar lewat pintu belakang. Aksi spontan yang digelar Koalisi Selamatkan Manusia dan Alam Domberai berakhir dengan teriakan keras seperti “Bahlil panipu”, “Bahlil perusak Tanah Papua”, dan “Bahlil perampok”, mencerminkan kekecewaan masyarakat Papua terhadap sang menteri yang selama ini mengklaim sebagai “putra daerah”.
#saverajaampat
“Ada apa dengan Bahlil sampai harus kabur? Kalau memang tidak bersalah, hadapi kami. Jangan berlindung di balik pengawalan,” ujar Yan, salah satu aktivis koalisi.
Di sisi lain, dalam pernyataan resminya, Bahlil menyebut bahwa kunjungan ke tambang PT GAG Nikel bertujuan untuk mengecek langsung kondisi lapangan. Ia mengatakan hasil peninjauan akan dievaluasi oleh tim inspektur tambang. Sementara Dirjen Minerba, Tri Winarno, mengklaim tak ada kerusakan serius yang ditemukan, bahkan sedimentasi di pesisir dinyatakan nihil.
Namun, penilaian pemerintah tersebut dianggap jauh dari kenyataan oleh warga setempat dan aktivis lingkungan. Uno, tokoh adat Raja Ampat, menegaskan bahwa kerusakan lingkungan akibat pertambangan telah merusak ruang hidup dan mata pencaharian masyarakat. Ia menuntut seluruh izin tambang di Raja Ampat dicabut, bukan dievaluasi.
“Kami tak butuh janji evaluasi. Kami butuh tindakan nyata: cabut izin tambang, terutama PT Mulia Raymond Perkasa di Pulau Manyaifun dan Batang Pele. Cukup sudah penderitaan kami,” tegas Uno.
Koalisi juga menolak proyek-proyek strategis nasional (PSN) yang disebut-sebut tidak memberikan manfaat bagi masyarakat Papua, justru memperparah eksploitasi dan ketimpangan.
Dengan situasi ini, langkah Bahlil yang lebih memilih "pintu belakang" dibanding berdialog terbuka dengan rakyat disebut sebagai simbol dari politik tambang yang tertutup dan tak berpihak pada rakyat Papua.