‎Melampaui Rintangan: Mencari Motivasi Hidup dalam Bayang-Bayang Intoleransi

Diterbitkan oleh Redaksi pada Sabtu, 5 Juli 2025 22:46 WIB dengan kategori Opini Suara Mahasiswa dan sudah 283 kali ditampilkan

Oleh: Rio Ferdinand, Mahasiswa Politeknik Negeri Jakarta

‎Ketika jemaat Gereja GBKP Runggun Studio Alam di Cilodong, Depok, harus menahan napas panjang karena pembangunan tempat ibadah mereka ditolak oleh sebagian warga, dan di saat yang hampir bersamaan, retreat pelajar kristen di Sukabumi dibubarkan oleh warga, kita pun bertanya: di mana keadilan dan ruang aman bagi kehidupan spiritual umat beragama di negeri ini?

‎Namun, di tengah pekatnya awan diskriminasi, selalu ada secercah cahaya yang mengajarkan kita tentang arti sejati dari motivasi hidup.

‎Antara Hak dan Realita

‎Secara konstitusional, setiap warga negara Indonesia memiliki hak yang sama untuk menjalankan ibadah sesuai agamanya (UUD 1945 Pasal 28E dan Pasal 29). Namun dalam praktiknya, banyak yang masih menghadapi tantangan dan penolakan. Mengutip laporan The Jakarta Post (2024), kasus-kasus penolakan pembangunan gereja dan pembubaran kegiatan keagamaan meningkat terutama menjelang tahun politik, menunjukkan bagaimana agama sering menjadi komoditas retorika dan alat tekanan sosial.

‎Namun apakah tekanan itu cukup kuat untuk menggoyahkan semangat umat dalam mengejar kedamaian batin dan iman?

‎Motivasi yang Menyala dari Luka

‎Motivasi bukanlah semata hasil dari kenyamanan, tetapi seringkali tumbuh dari tekanan dan keterbatasan. Viktor Frankl, seorang psikiater dan penyintas kamp konsentrasi Nazi, dalam bukunya Man’s Search for Meaning (1946), menyatakan bahwa manusia dapat bertahan dalam kondisi paling menyakitkan sekalipun, selama ia memiliki makna untuk diperjuangkan.

‎Demikian pula halnya dengan mereka yang tetap datang ke lapangan terbuka untuk beribadah, meski gereja mereka digembok atau bangunan tempat retreat mereka dibubarkan secara paksa. Mereka tetap bernyanyi, berdoa, dan mengasihi. Bukankah ini bentuk motivasi hidup paling luhur—memegang iman di tengah ujian?

‎Membangun Harapan dari Abu Intoleransi

‎Mengutip pernyataan tokoh pluralisme Indonesia, Alissa Wahid, "Perbedaan tidak boleh menjadi alasan untuk menindas." Dalam banyak kasus penolakan, sebenarnya ketakutan dan disinformasi menjadi pemantik utama. Dengan kata lain, intoleransi tumbuh dari tanah subur ketidaktahuan dan trauma sosial yang belum selesai.

‎Solusinya? Pendidikan multikultural dan dialog antarumat beragama yang terbuka. Gereja bisa menjadi pelopor, bukan hanya sebagai tempat ibadah, tapi juga pusat penyembuhan sosial, tempat di mana masyarakat bisa belajar tentang kasih, toleransi, dan harapan. Ini bukanlah ilusi, tetapi langkah konkrit yang telah dilakukan banyak komunitas lintas iman, seperti yang dilansir dalam laporan Wahid Foundation (2023).

‎Hidup dalam Nilai, Bukan dalam Ketakutan

‎Motivasi hidup sejati bukan datang dari janji kenyamanan, tetapi dari nilai yang kita pegang teguh, bahkan ketika nilai itu diuji. Bagi mereka yang tetap tersenyum walau tempat ibadahnya digembok, atau yang tetap memberi walau dihina, mereka telah menemukan sumber motivasi hidup yang melampaui kepentingan diri: cinta dan pengampunan.

‎Mengutip Nelson Mandela, "Ketika aku melangkah keluar dari pintu penjara, aku tahu bahwa jika aku tidak meninggalkan kepahitan, aku masih tetap dalam penjara." Motivasi hidup adalah keberanian untuk bebas dari kebencian, meski engkau masih berada di bawah tekanan.

‎* Jalan Masih Panjang, Tapi Kita Tidak Sendiri*

‎Membangun kehidupan yang penuh makna di tengah tekanan adalah perjuangan yang tak mudah, tetapi bukan mustahil. Kita bisa mulai dari hal kecil: membangun empati, menyuarakan kebenaran, dan berdiri bagi yang tertindas.

‎Motivasi hidup tak lahir dari seruan kosong, melainkan dari kesediaan untuk menjadi terang dalam gelap, garam di tengah luka. Dan selama masih ada orang yang bersedia memaafkan meski ditindas, selama masih ada doa yang dipanjatkan dari reruntuhan tempat ibadah, kita tahu: harapan belum mati.