Pertemuan Jokowi dan Abu Bakar Baasyir: Antara Simbol, Nasihat, dan Tafsir Publik

Diterbitkan oleh Redaksi pada Selasa, 30 September 2025 08:30 WIB dengan kategori Editorial dan sudah 1.207 kali ditampilkan

EDITORIAL - TERKININEWS.COM - Suasana rumah Presiden ke-7 RI, Joko Widodo, di kawasan Sumber, Banjarsari, Solo, mendadak berbeda pada Senin, 29 September 2025. Di balik pagar sederhana yang sering menjadi titik temu warga, hadir seorang tamu yang namanya lekat dengan sejarah panjang pergerakan Islam di Indonesia: Abu Bakar Baasyir, pengasuh Pondok Pesantren Al-Mukmin, Ngruki.

Dengan langkah perlahan, Baasyir yang kini berusia lanjut tiba di kediaman Jokowi. Kehadirannya disambut langsung oleh sang tuan rumah. Jokowi, mengenakan batik cokelat lengan panjang, tidak sekadar berjabat tangan, tetapi juga mencium tangan Baasyir gestur penuh hormat yang seketika menjadi sorotan.

“Waalaikumsalam, ngaturaken sugeng ustaz,” ujar Jokowi, sembari menundukkan kepala, sebuah bahasa tubuh yang mencerminkan penghargaan.

Sebelum memasuki rumah, Baasyir sempat menyapa para jurnalis dengan salam singkat, “Assalamualaikum.” Lalu, ia melangkah masuk bersama dua rombongan lain, meninggalkan media di luar, menanti kabar dari balik pintu pertemuan tertutup.

Nasihat yang Ditegaskan
Usai pertemuan, Abu Bakar Baasyir menyampaikan bahwa kunjungannya hanyalah untuk menunaikan kewajiban sebagai seorang Muslim: memberi nasihat. “Saya hanya menasehati. Orang Islam itu wajib menasehati. Rakyat, pemimpin, orang kafir harus dinasehati,” ujarnya.

Nasihat itu bukan sembarang nasihat. Baasyir secara terbuka menyampaikan harapannya agar Jokowi dapat menerapkan hukum Islam di Indonesia. Lebih jauh, ia menyebut mantan presiden dua periode itu sebagai sosok yang kuat, bahkan berharap bisa menjadi “pembela Islam yang kuat.”

Simbolisme Pertemuan
Di mata publik, momen ini lebih dari sekadar silaturahmi. Pertemuan seorang mantan kepala negara dengan tokoh agama yang namanya kerap dikaitkan dengan kontroversi ideologi, menyimpan simbol yang kaya tafsir. Di satu sisi, ada dimensi personal: seorang pemimpin yang menghormati ulama. Di sisi lain, ada dimensi politis dan religius: nasihat agar hukum Islam mendapat tempat di panggung negara.

Gestur Jokowi mencium tangan Baasyir menjadi sorotan tersendiri. Apakah itu sekadar sopan santun budaya Jawa, ataukah simbol penghormatan yang lebih dalam terhadap nasihat seorang tokoh agama? Publik tentu bebas menafsirkan.

Antara Doa, Harapan, dan Sejarah
Bagi Baasyir, kesempatan bertemu Jokowi bukanlah momentum politik, melainkan ibadah. “Mudah-mudahan beliau bisa jadi pembela Islam yang kuat,” katanya. Sementara bagi Jokowi, kehadiran Baasyir di rumahnya bisa dipandang sebagai kelanjutan dari watak pribadinya yang gemar menerima tamu dengan tangan terbuka, siapa pun mereka.

Pertemuan singkat itu menambah catatan baru dalam perjalanan relasi tokoh bangsa. Di tengah hiruk pikuk politik dan dinamika sosial, gestur kecil, nasihat sederhana, dan sapaan singkat ternyata masih mampu menghadirkan perbincangan panjang: tentang relasi agama dan negara, tentang simbol dan makna, tentang pemimpin dan umat.