Hasil UN 2018 Anjlok KPAI Sebut Kemdikbud Harus Evaluasi Kebijakan
JAKARTA, -- Sehubungan dengan “anjloknya” hasil Ujian Nasional (UN) tahun 2018 seharusnya menjadi momentum bagi kemeterian pendidikan dan kebudayaan (Kemdikbud) untuk melakukan evaluasi kebijakan UN.
Melalui Komisioner KPAI, Bidang Pendidikan Retno Listyarti. Selasa (29/5/2018) terkininews.com menyampaikan keprihatinan atas hasil Nilai UN tahun 2018 yang mengalami penurunan cukup signifikan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
Hasil yang anjlok ini sudah diprediksi banyak orang, mengingat begitu banyak siswa SMA dan SMP peserta UN tahun 2018 yang mengeluhkan sulitnya soal UNBK, yang menurutnya yang kebanyakan keluhan mereka bahkan diunggah ke berbagai media social dan viral selama dua minggu lebih.
Para peserta UN tahun 2018 mengeluhkan sulitnya soal UNBK --khususnya untuk soal esai-- yang menurut pihak Kemdikbud diklaim sebagai soal HOTS. Padahal menurut para peserta UN, soal jenis itu tidak pernah diperkenalkan selama menempuh pembelajaran 3 tahun dan bahkan beberapa materi tidak sesuai dengan yang mereka pelajari dan tidak ada pula di kisi-kisi UN yang mereka dapatkan. Tandas Retno Listyarti
Berkaitan dengan soal UN tahun 2018 yang dikeluhkan para peserta UN, maka sudah semestinya pihak Kemdikbud mau mendengar dan bersedia dengan besar hati mengevaluasi soal dan pembuat soalnya. bukan menyalahkan anak-anak dengan istilah cengeng dan malas. Tandas Retno
"Jika dalam suatu ujian mayoritas anak mendapatkan nilai “jelek” maka seorang guru pasti akan mengevaluasi soalnya dan pendekatan pembelajarannya, bukan menyalahkan para siswanya cengeng atau malas" terang Retno.
Lalu KPAI juga mengingatkan kembali keputusan Mahlamah Agung RI tahun 2009 terhadap gugatan UN oleh warga negara, yang pada prinsipnya pengadilan memerintahkan kepada negara untuk tidak melaksanakan UN sampai negara mampu memenuhi pemerataan kualitas tenaga pendidik di seluruh Indonesia, memenuhi pemerataan sarana dan prasarana pendidikan yang berkualitas di seluruh Indonesia, dan meratanya atau terjangkaunya teknologi komunikasi dan informasi di berbagai sekolah di seluruh Indonesia.
Jadi anjloknya hasil UN tahun 2018 di sumbangkan sebagian besar oleh tiga prasyarat yang diperintahkan oleh Keputusan Mahkamah Agung yang dimenangkan oleh warga negara sebagai penggugat sebagaimana tersebut di atas, dimana KPAI menilai prasyarat tersebut diduga kuat belum terpenuhi oleh negara, dengan parameter sebagaimana ditentukan oleh Permendikbud tentang 8 standar nasional pendidikan (SNP).
Selain belum terpenuhinya ketiga syarat tersebut, diduga kuat anjloknya soal juga disumbang oleh dinaikkannya tingkat kesulitan soal, namun tidak disertai dengan pembaharuan pembelajaran bernalar di ruang-ruang kelas.
Reformasi pembelajaran di kelas haruslah di mulai dari para guru. Para guru harus disiapkan terlebih dahulu oleh Kemdikbud, Kementerian Agama dan Dinas-dinas pendidikan di seluruh Indonesia untuk mampu mengajar HOTS dan melatih soal HOTS. Kalau gurunya sudah mampu melaksanakan pembelajaran HOTS maka adil jika muridnya diuji dengan soal HOTS.
Berdasarkan hal tersebut di atas ditambahkan dengan janji NAWACITA Jokowi-JK terkait janji mengevaluasi sistem penilaian berstandar maka sudah seharusnya kebijakan UN dievalusi kembali untuk di moratorium (dihentikan sementara) sampai Negara memenuhi ketiga prasyarat yng ditentukan oleh Keputusan Mahkamah Agung RI atas gugatan warga negara pada tahun 2009.
Anjloknya nilai UN tahun 2018 ini seharusnya menjadi momentum bagi Kemdikbud untuk mengevaluasi kebijakan UN ini, namun bukan untuk menjadikan kembali UN sebagai penentu kelulusan siswa, karena berpotensi melanggar Keputusan MA dan tidak sejalan dengan janji NAWACITA. (*)