Altruisme Politik Pasca Pemilu 2014

Diterbitkan oleh Dachroni pada Kamis, 29 Januari 2015 10:13 WIB dengan kategori Opini dan sudah 1.026 kali ditampilkan


 

 Berkilah memakai kata penyeimbang pemerintah pun rasanya belum cukup, sebab parlemen yang dominan Koalisi Merah Putih (KMP) masih berusaha mengguncang kebijakan pemerintah. Puncaknya, koalisi ini membuat parlemen secara sepihak, sehingga membuat para punggawa Koalisi Indonesia Hebat (KIH) membuat DPR tandingan.


Kondisi itu mulai mereda setelah kedua pihak berunding dan berujung penyatuan kembali wakil rakyat. Tapi intrik politik ternyata belum berhenti, dalam kongres PPP dan Golkar, pembelahan kepengurusan terjadi. Kecurigaan pun lahir, KIH bermain api dan mengintervensi kongres kedua partai. Ini dapat dibaca sebab belakangan diketahui kuatnya keberpihakan kubu Romahurmuzy dan Agung Laksono kepada Jokowi-JK, sementara sejak awal kedua partai sudah masuk barisan KMP.


Melihat realitas itu, kita tentu tak miris melihat elite politik sibuk saling menjatuhkan demi mengejar ambisi politiknya. Tak dapat dibayangkan, bagaimana mau membangun kebijakan yang pro rakyat, jika para wakil rakyat sibuk berebut posisi politik. Lebih ironis, bagaimana membangun partai politik yang sehat, jika parpol yang ada terjebak dualisme kepengurusan. Jika sudah seperti ini lantas dimana fungsi parpol dalam menumbuhkan pendidikan politik untuk rakyat?


Tapi beruntungnya, di tengah berbagai kegaduhan politik, kita pantas berbangga rakyat masih memiliki kesabaran tanpa batas. Elite sibuk bertengkar, tapi rakyat cenderung konsisten menahan diri dan beraktivitas secara normal. Ketika mereka mampu dewasa bersikap dan melupakan pertikaian pasca kompetisi politik pemilu 2014, tingkah laku elite parpol justru kekanak-kanakan dengan membelah diri menjadi dua koalisi. Repotnya, tanpa perlu minta izin, jajaran politisi yang sedikit jumlahnya ini saling mengaku paling benar dengan mengatasnamakan demi kepentingan rakyat Indonesia.


Padahal jika mau jujur, rakyat tak mendapatkan keuntungan apapun dari perebutan kursi di parlemen, arogansi pribadi dan polemik antar kader partai. Rasanya pula, rakyat sudah terlalu lelah disuguhi janji manis politik semasa kampanye yang tak terpenuhi. Kejenuhan terlanjur melekat atas semakin jauhnya agenda faktual parpol dari persoalan yang melanda masyarakat. Semuanya itu semakin membuktikan, partai politik dan kadernya adalah pengabdi kekuasaan bukan pelayan kebutuhan rakyat.


Jika demikian yang terjadi, partai tak lagi diyakini sebagai penopang yang kuat dalam membentuk makna dasar demokrasi yakni dari, oleh dan untuk rakyat. Partai politik lebih dapat disebut dari, oleh dan untuk kepentingan pribadi. Perasaan keakuan dan kekamian mengendap dalam tubuh kader parpol, sementara rasa kekitaan mengalami peminggiran yang serius. Ujungnya mudah ditebak, bangsa Indonesia lebih mudah melihat parpol melahirkan kader bermental broker yang tugas memperluas kapling politik dibanding pekerja politik yang memberikan sepenuh waktunya untuk membela rakyat.


Menguatnya egosentrisme politik, membuat bangsa Indonesia perlu sosok politisi dengan altruisme yang tinggi. Manusia altruis akan mempertimbangkan kepentingan rakyat di atas segalanya. Jika altruisme tumbuh, maka para politisi akan berpikir seribu kali untuk meminggirkan, memfitnah dan menyingkirkan orang lain. Sebaliknya akan tumbuh sikap saling menghargai, toleransi, merangkul dan membangun kerjasama politik atas dasar persahabatan sehingga tercipta kejayaan bangsa.


Maka, belum terlambat bagi elite politik utamanya kader dan pemimpin partai untuk mengurangi egosentrismenya dan menaikkan kadar altruismenya. Jangan lagi sibuk memproduksi konflik dan pertentangan yang tidak diperlukan rakyat Indonesia. Justru sebaliknya, mulailah membangun kerjasama produktif dalam berpolitik dan menghapus sekat perbedaan pasca kompetisi politik. Jadikan terpilihnya pasangan Jokowi-Jusuf Kalla sebagai momentum membangun Indonesia baru yang adil, makmur dan sejahtera.


 

*Mahasiswa Magister Ketahanan Nasional Universitas Indonesia