Dinamika Perkembangan Sosial, Politik, dan Pemerintahan di Kepri

Diterbitkan oleh pada Selasa, 22 September 2015 22:05 WIB dengan kategori Opini dan sudah 3.845 kali ditampilkan

Berbicara tentang perkembangan sosial, politik, dan pemerintahan di Kepri, dapat dibagi dalam empat periode penting, yaitu, pertama, masa pemerintahan kesultanan Melayu Semenanjung Malaya, kedua, masa pergerakan kemerdekaan, tiga, pasca kemerdekaan 1945, dan keempat, pasca reformasi. Dari keempat periode tersebut terdapat perbedaan karakter yang sangat jelas, disebabkan oleh berbedanya bentuk dan sistem pemerintahan serta rezim yang berkuasa. Namun, masing-masing periode memiliki kesamaan karakter dalam menyikapi keberagaman, baik keberagaman suku bangsa/ras, agama/keyakinan, bahasa, budaya, politik dan pemerintahan.


Harmonisasi dalam kebhinekaan itu pernah rusak ketika masuk bangsa penjajah di rantau ini, dan oleh karenanya dalam menghadapi bangsa penjajah, orang-orang Melayu juga memiliki sikap yang tegas yaitu perang terhadap mereka, seperti halnya orang-orang dari suku-suku lainnya di nusantara.   


Terkait dengan sikap dan kebersamaan orang Melayu dengan suku bangsa  Nusantara lainnya dalam menghadapi bangsa penjajah, sekelumit dapat digambarkan  dalam uraian berikut ini, Mayor Jendral Marinir (Purn) Djoko Pramono, “Budaya Bahari” (2005:69), menguraikan bahwa “Johor berhasil bertahan setelah mendapat bantuan pasukan dari sekutunya yakni pasukan Jawa, Minangkabau, Trengganu, Indragiri, dan Kampar”.  

Periode perkembangan sosial politik dan pemerintahan di Kepri pasca reformasi, sangat menarik dikaji selain karena karakteristik kekiniannya, dalam periode ini juga pertumbuhan demokrasi berjalan lebih dinamis dibandingkan dengan periode-periode sebelumnya.  Sejarah mencatat baru di era reformasi, bangsa ini melaksanakan pemilihan presiden dan pemilihan kepala daerah secara langsung. Kemudian di era ini juga, perkembangan otonomi daerah terus berkembang dengan ditandainya pembentukan daerah otonom baru, mulai dari pengembangan daerah propinsi maupun kabupaten/kota di Indonesia. 

Data menyebutkan bahwa pasca reformasi sampai sekarang, di Indonesia telah terbentuk 34 propinsi, dengan 415 Kabupaten, 1 Kabupaten administrasi,  93 Kota dan 5 kota administrasi. (Khusus kabupaten dan kota administrasi tidak memilik DPRD). (Sumber : Wikipidia. Org. Dikutip tanggal 7 September 2015).

Provinsi Kepri merupakan salah satu provinsi yang dibentuk di era reformasi dari hasil pemecahan Provinsi Riau, berdasarkan UU No. 25 Tahun 2002, tanggal 24 September 2002. Kemudian di era ini juga terbentuk beberapa kabupaten/kota di Kepri yaitu Kabupaten Karimun, Kota Batam, Kabupaten Bintan, Kota Tanjungpinang, Kabupaten Natuna, Kabupaten Lingga, dan Kabupaten Anambas. Yang mana seluruh Kabupaten dan Kota tersebut, sebelumnya masuk ke dalam Kabupaten Kepri saat masih berada di bawah Riau.  Namun khusus Kota Batam, sebelum menjadi daerah otonom, oleh pemerintah RI daerah ini telah dijadikan sebagai daerah khusus perindustrian dan perdagangan yang berada di bawah kekuasaan Otorita Batam, sejak 1973 berdasarkan Kepres No. 41 Tahun 1973. 

Dinamika perkembangan sosial, politik, dan pemerintahan di Kepri, dipengaruhi juga oleh letak  geografis  Kepri  yang berbatasan langsung dengan empat negara tetangga yaitu Singapura, Malaysia, Vietnam dan Kamboja dan terletak di dua jalur lalu lintas perdagangan internasional yaitu Laut Cina Selatan dan Samudra Hindia dan dua selat yaitu  Selat Malaka dan Selat Karimata. 

Kemudian pengaruh Batam sebagai daerah Otorita disamping daerah Otonom, memberikan andil yang cukup besar dalam perkembangan sosial politik dan pemerintahan di Kepri, dengan jumlah penduduk lebih dari setengah  jumlah penduduk di Kepri, yaitu sebesar, 1.134.068 jiwa (Juli 2013), sementara penduduk Kepri hanya berjumlah 1,8 juta jiwa (Rincian Kemendagri tahun 2015)  tentunya Batam menjadi barometer bagi perkembangan sosial, politik, dan pemerintahan di Kepri. Oleh karenanya, tidak heran apabila orang-orang politik mengatakan “jika ingin menguasai Kepri, maka kuasailah Batam”. 

Meskipun Batam saat ini menjadi salah satu kota Metropolitan yang didalamnya hidup berbagai macam suku bangsa, namun sampai sejauh ini dapat dikatakan kehidupan sosial, politik, dan pemerintahan di sana tetap berjalan dengan baik, seperti daerah-daerah lainnya di Kepri. 

Karakteristik Orang Melayu 

Orang Melayu yang identik dengan keislamannya, sangat  berkeyakinan  bahwa  kehidupan  di alam dunia (fana) adalah kehidupan yang bersifat sementara “tidak kekal”  (kehidupan abadi berada di alam akhirat) dan apa yang dialami olehnya semata-mata  atas kehendak Allah SWT. Oleh karenanya pedoman hidup orang-orang Melayu adalah ajaran-ajaran agama  yang berpedoman pada AlQuran, hadis, dan sunnah nabi Muhammad SAW, sementara di satu sisi adat istiadat dan kebudayaan tetap bersendikan pada ajaran-ajaran agama tersebut. Untuk itu tidaklah mengherankan jika pedoman hidup orang Melayu berangkat dari suatu falsafah hidup “Alam terkembang dijadikan guru, Adat bersendikan syarak,  syarak bersendikan kitabullah”. 

Abdul Malik "Memelihara Warisan Yang Agung” (2009:33) menuturkan bahwa “Kala itu kerajaan Malaka diislamkan  dengan masuk Islamnya Raja Malaka- Parameswara - bergelar Megat Iskandar Syah. Beliau merupakan raja Kerajaan Malaka pertama yang memeluk Islam yaitu sekira 1400 M…..Sejak itu pula dunia Melayu selalu disandingkan dengan Islam, sehingga yang disebut Melayu apabila memiliki tiga ciri: (1) berbahasa Melayu, (2) beradat-resam (berbudaya) Melayu, dan (3) beragama Islam. 

Prof. DR. Koentjaraningrat “Manusia dan Kebudayaan di Indonesia” (1971 : 25) mengemukakan bahwa “Demikian timbul antara lain Negara Malaka di Semenanjung Melayu,….Dalam proses perkembangan dari Negara-negara tersebut, rupa-rupanya pedagang-pedagang Indonesia menjadi kaya, dan suatu golongan bangsawan kota pelabuhan yang timbul di sana, rupa-rupa-nya terpengaruh oleh Islam”.

Kehidupan yang bersendikan pada ajaran-ajaran agama, adat dan kebudayaan, membentuk karakteristik orang Melayu sebagai orang-orang yang santun dan beradap serta dapat menerima segala hal yang datangnya dari luar termasuk menerima segala perbedaan. Apalagi yang datangnya dari luar itu untuk memberi manfaat lebih baik, sebagaimana pepatah mengatakan,  “Kecil tapak tangan, Nyiru ditadahkan”. 

Karakteristik orang-orang Melayu tersebut sangat dipengaruhi pula dengan kondisi geografis tempat mereka tinggal, yang pada umumnya bermastautin di daerah pulau-pulau yang tersebar di Semenanjung Melayu. Sebagaimana lazimnya,  karakteristik orang-orang yang hidup di daerah pesisir laut dan pantai, pada umumnya memiliki karakter yang lebih terbuka jika dibandingkan dengan orang-orang yang hidup bertempat tinggal di daerah pedalaman. Hal ini berangkat dari pengetahuan dan pengalamannya selama hidup berbaur dan berkomunikasi dengan segala macam suku bangsa dari luar, seperti ungkapan pepatah, “Lautan yang dalam sudah diselami, ini pule air dalam terenang”.

Sejak masa pemerintahan kesultanan Melayu, kehidupan sosial, politik, dan pemerintahan berjalan dengan harmonis meskipun dalam wilayah kesultanan tersebut terdapat berbagai macam perbedaan suku bangsa/ras, agama/keyakinan, dan budaya yang hidup berdampingan dan saling mendukung. Sebagai contoh: di masa pemerintahan kesultanan Melayu Riau, Lingga, Johor dan Pahang, diketahui bahwa Sultan mengangkat para Daeng (orang-orang Bugis) menjadi Yang Dipertuan Muda. 

Sebagaimana ditulis dalam buku “Butang Emas, Warisan Budaya Melayu Kepulauan Riau” (2006 : 18) “Maka sejak saat itu, keputusan dalam kerajaan tidak lagi mutlak kepada perkataan seorang Sultan. Hal ini sesuai dengan kesepakatan  yang dilakukan antara pihak Sultan Sulaiman  dengan Upu-upu dari Bugis. Yaitu Sultan disebut sebagai Yang Dipertuan Besar sedangkan dari pihak Upu-upu mendapat gelaran Yang Dipertuan Muda”. 

Kemudian dalam perdagangan, pertanian dan perkebunan, orang-orang Cina, India, dan Siam  diberikan tempat untuk itu, sebagaimana dikemukakan “Jikalau dilihat dari perkembangan Kerajaan Riau Lingga dari 1722 – 1784 lebih kepada kegiatan  perdagangan (ekonomi). Diantaranya pengurusan dalam aturan perdagangan. Hubungan dagang dengan berbagai bangsa asing dan kerajaan lain seperti India (Benggala), Cina, Siam, Jawa, Bugis, dan lain sebagainya.  

Contoh lainnya, dalam buku Hikayat Hang Tuah, bercerita tentang hubungan antara kerajaan Malaka dengan kerajaan Majapahit, bahkan Hang Tuah juga pernah berguru dengan Sang Persata Nala dari Majapahit. Sebagaimana dapat kami uraikan dengan singkat beberapa penggalan cerita hikayat Hang Tuah berikut ini: Muhamad Haji Saleh “Hikayat Hang Tuah (Jilid 1 ) menuturkan: “Bahkan ditengah hingar-bingar dan kegembiraan pesta, mereka berhasil melarikan diri ke pegunungan untuk belajar dengan Sang Persata Nala, yang sangat terkenal kemampuan seni bela diri dan sihirnya”. (2013 : 25). 

Kemudian dalam cerita lain, “Paduka Seri Betara melakukan persiapan besar-besaran untuk upacara pernikahan Raden Galuh Emas Ayu dengan Raja Malaka. Semua Raja dan adipati yang tunduk kepada Majapahit tiba bersama isteri dan keluarga ….termasuk semua kepala desa di seluruh tanah Jawa”. (2013 : 287).

Dari beberapa penggal kisah di atas, pada hakekatnya orang-orang Melayu adalah orang-orang yang sejak dahulu sudah tidak asing lagi dengan perbedaan, bahkan perbedaan dianggap suatu “Rahmatan Bil Alamin”.  Oleh karenanya orang-orang Melayu tidak pernah marah apalagi berbuat anarkis ketika daerah Melayu ini dipimpin oleh orang yang berasal dari luar suku Melayu, sebagaimana dapat dicontohkan bahwa para Gubernur Riau dibaca Kepri mulai dari Gubernur pertama sampai Kepri pisah dari Riau,  tidak  semuanya berasal dari orang-orang  Melayu, seperti Mr. S.M. Amin Nasution asal daerah Sumut (Gubernur pertama Riau-Kepri, Tahun 1958 - 1960), Khaharudin Nasution asal daerah Sumut (1960 – 1966), Imam Sudrajat asal daerah Blitar Jawa Timur  (1980 – 1988), Soeripto asal daerah Madiun Jawa Timur (1988- 1998). Kemudian setelah Kepri berpisah dari Riau, provinsi ini pertama kali dipimpin oleh Ismeth Abdullah asal Cirebon Jawa Barat (2005 – 2010).  

Yang terpenting bagi orang-orang Melayu, siapapun pemimpinnya dia harus menjadi orang Melayu dibumi Melayu, sebagaimana diungkap oleh DR. Drs. Abdul Malik, M.Pd., yang disebut orang Melayu itu apabila dia berbahasa melayu, beradat resam (berbudaya) melayu, dan beragama islam, pepatah mengatakan, “Dimane bumi dipijak, di sane langit dijunjung” dan terkait tentang takdir seseorang, apakah dia akan menjadi seorang pemimpin atau tidak, orang-orang Melayu berpegang pada pepatah bijak, “Untung sabut timbul, untung batu tenggelam”, dan orang-orang Melayu juga dapat menerima dengan ikhlas tentang tinggi rendahnya drajat seseorang,  seumpama pepatah,  “Kalau same tinggi kayu di rimbe, di mane angin akan lalu”.